Sebuah Senja di Kota Lama #16

Sebuah Senja di Kota Lama

Bagian Keenambelas

 

BukukuKututup buku ini, cerita ini, refleksi ini, sampai disini, untuk berganti latar, mengingat waktu dan tempat yang tak pernah ada tersisa disela-sela kesibukanku berjualan tissue di Bumi Tanah Pasundan, Bogor.

Seperti pada awal buku ini aku bercerita, bahwa semua ini kututurkan dari tempat di Kota Lama, maka akan kuakhiri disana pula. Semua terjadi ketika suatu saat, beberapa waktu yang lalu aku kembali ke Kota Lama, sekedar ingin bernostalgi, melihat kembali sesuatu yang pernah mengisi hidupku.

Sayang, saat itu hari telah beranjak senja dan tak satupun dapat kujumpai, juga Bidadari-Bidadari Putihku, juga teman dan mantan rekan-rekan seprofesiku, seolah semua telah pergi. Juga kamu, Nik, seolah semua berlalu dan meninggalkan diriku seorang diri di tempat itu, di atas jembatan depan Padepokan itu. Aku kembali, lalu pergi lagi!

Senja telah bergulir, Sang Kala telah tenggelam di ufuk barat cakrawala. Dari gelapnya riak-riak air sungai yang kehitaman itu, air terus berlalu menuju ke muara.

Untuk sejenak masih sempat kusaksikan dari dalam mobil yang kutumpangi, beberapa Bidadari Putihku berlarian keluar dari Padepokan itu. Rupanya ada acara saat itu. Sengaja aku tidak menyapa, untuk lain kali, waktunya terlalu sederhana saat itu. Aku ingin kembali bersua, menyapa, tepat di hari istimewa, suatu saat nanti.

Juga dirimu, Nik, sempat kuperhatikan dirimu memandang ke arahku, namun aku ragu, apakah kamu masih mengenal diri ini. Pun jika kamu melihatku, aku yakin kamu tidak akan sadar kalau itu aku, mantan pendidikmu, mengingat aku sudah tidak seperti duklu lagi. Setidaknya, kubiarkan sejak tadi rambut panjangku menutupi wajah pribadiku.

Ternyata kamu sendiri sudah berubah, Nik! Rambutmu juga kau biarkan panjang memahkotai kepalamu. Sudahkah engkau lupa, Nik, bahwa dirimu akan semakin manis terlihat dalam cepak mahkota rambutmu?

Ah, tidak adil kiranya jika aku membiarkan rambutku semakin panjang berkibar dan memintamu justru membiarkan rambutmu tetap pendek. Maaf, Nik!

Manusia memang harus berubah. Sekiranya ada yang tidak berubah dalam dirimu, dari seberang sungai di dalam mobil ini kuperhatikan kamu masih tetap ‘kemayu’. Hati-hati, Nik, dengan sikapmu itu. Kelak jika waktumu tiba, serigala-serigala akan mengerubungimu, bahkan seekor cicak di dinding kamarku sekalipun akan turut mengagumimu sekiranya berkesempatan.

Jangan kaubiarkan talenta satu yang kaumiliki itu untuk menundukkan Kaum Adam, sesama kaumku. Jadilah dirimu sendiri apa adanya, bukan bayang-bayang orang lain.

Sejuta lima maafku untukmu seorang sekiranya saat itu aku tidak menyapa, menyambangimu, Bidadari Putihku. Perlu kamu ketahui, ingin rasanya segera keluar dari mobil, berteriak memanggilmu dan melepas kerinduanku, namun tak kulakukan. Semua ada saatnya, kelak.

Aku hanya tidak ingin kamu, Nik, dan juga Bidadari-Bidadari Putihku yang lain, melihatku dalam kondisi seperti saat ini. Aku terlalu lelah secara fisik, menjalani hari-hariku, semoga kamu dapat memahaminya jika saja tahu.

Sekali waktu, dulu, aku pernah berkata kepadamu, Nik, betapa ‘menjadi seseorang’ sekalipun hanya sesaat diundangkan, tetaplah sangat penting arti dan maknanya.

Saat itu aku merasa baru menjadi ‘sebagian dari seseorang’ itu. Oleh karenanya, kutahan semua keinginanku, semua harapanku, semua kerinduanku sekedar untuk menyapa dan berbagi cerita, untuk suatu hari nanti aku kembali hadir telah menjadi ‘seseorang’.

Sejak dahulu pula, ingin rasanya kunyatakan satu hal itu, namun kurasa belumlah tepat kiranya kamu bisa memahami semua ini. Singkat dan sederhana saja pesanku, namun dalam singkat dan sederhananya pesanku, banyak tersisa makna yang harus kau selami seorang diri.

“Lepaskan semua beban dukamu dan tunjukkanlah pada semua ‘dirimu sendiri’!”

Senja itu, ketika kau melintas tepat di samping mobilku, sempat juga kuperhatikan keceriaan dan raut mukamu. Kamu masih saja ‘kemayu’! Namun demikian, masih kulihat diantara canda tawa dan percakapan bersama temanmu, terselip sisa-sisa duka yang menggelantung di pelupuk bola matamu.

“Lepaskan, Nik, lepaskan semua itu!”

Kamu berhak untuk hidup lebih bahagia. Sekiranya engkau sudah bisa memahami, ingatlah selalu, betapa masa muda, masa sekolah, adalah masa yang paling indah. Masa sekolah adalah masa yang mahal tak ternilai, sebab semua tak dapat diulang sekedar untuk melampiaskan kerinduan.

Sekalipun kini tak ada lagi yang menuntun, membimbing dan mengarahkanmu, ingatlah selalu, bahwa jauh di Bumi Tanah Pasundan, seorang teman, sahabat dan mantan pendidikmu tinggal meniti hari-harinya, mewujudkan impiannya yang tertunda.

Aku akan selalu menjadi teman dan sahabatmu, bukan lagi gurumu, sekalipun selamanya kau harus memanggilku dengan sebutan ‘Pak’! Aku yakin, kamu akan mampu melewati hari-harimu, seperti halnya aku mampu menembus gelap dan pekatnya kabut hidup ini.

Tunjukkanlah pada semua yang masih tersisa di sana, betapa dukamu suatu hari nanti akan kautebus dengan suka cita kelulusanmu. Tunjukkan kepada mereka, betapa kamu benar-benar mampu, bahwa kamu benar-benar Bidadari Putihku, hingga tak rugi aku menjulukimu demikian.

Jadilah Bidadari Putihku dan Bidadari Padepokanmu, hingga semua tahu, betapa jiwa yang lemah sekalipun akan mampu, asal mau dan tahu, serta menyadari untuk apa semua itu diperjuangkan.

Aku, tubuh kecil berbalut jiwa yang lemah ini, hanya akan menjadi sebuah cerita yang pernah ada, yang mengisi sebagian dari masa lalumu, yang pernah menuntun, membimbing dan mengarahkanmu, tidak lebih. Dan ketika kau baca semua ini, tiap kali kau renungi semua ini, aku hanyalah akan tinggal sebagai sebuah kenangan, kenangan dalam sebuah kebersamaan.

Kenanglah aku sebagaimana engkau pernah mengenalku. Ambil serta pergunakanlah segala yang baik yang pernah kubagi, sebab jiwa ini pernah menjerit pilu dalam kebekuan masa lalu. Anggap saja bagian itu tidak pernah ada, hingga yang tersisa adalah bagian terbaik yang pernah kuberikan.

Malam benar-benar telah merambah. Kota Lama ditaburi kerlap-kerlip lampu malam, ibarat ratusan kunang-kunang ditengah kegelapan. Orang-orang mulai bergegas menuju ke tempat peraduannya masing-masing, rumah!

Benakku merajuk untuk sesaat, adakah aku memiliki rumah saat ini? Dimanakah rumah istanaku saat ini? Dimanakah jiwa ini kuistirahatkan manakala lelah meniti hari saat ini? Apakah rumah istanaku jauh di Tanah Pasundan sana? Dimanakah ragaku pada akhirnya akan kuistirahatkan nantinya? Adakah di Kota Tua dimana Negeri Castle-ku berada? Ah, kota itu terlalu gersang! Ataukah aku akan kembali ke Kota Lama ini, dimana sejengkal waktuku pernah kuhabiskan?

Entahlah, masih perlu waktu lama sekedar untuk menjawab semua itu. Setidaknya, aku akan melanjutkan roda-roda kecil hidupku dan membiarkannya berputar serta terus berputar.

Selamat tinggal Kota Tua dengan segala suka dan deritanya. Aku pergi untuk suatu saat akan kembali dalam damai sejuk pengharapanku. Terima kasih atas semua pekerti yang kau tunjukkan kepadaku, sebab kepadamulah aku berjanji, aku pergi untuk suatu saat kembali membangun Negeri Castle-ku. Tunggu aku di sana!

Selamat tinggal Kota Lama beserta semua yang ada disana, kenangan-kenangan indah dan pilu yang pernah sejenak menghampiriku.

Selamat tinggal Kebon Dalem beserta seluruh penghuni yang masih ada di sana. Aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama, dan sekiranya berkenan, aku akan kembali sekali lagi, melihat dan menyaksikan yang terakhir kusertai lulus menjinjing ketamatannya. Tanpa diriku, kiranya semua tetap akan berjalan sebagaimana mestinya, seperti dahulu kala manakala aku belum hadir dan berkarya bersama.

Apakah arti diri ini selain sekeping jiwa yang memimpikan hal-hal yang besar, mencoba menjadikan hal-hal yang kecil menjadi lebih besar dan lebih berarti. Sekalipun tidak pernah bisa terwujud dan tidak lagi dapat kuteruskan, biarlah kutuliskan kembali hal-hal kecil yang sekiranya terlupakan.

Selamat tinggal semua! Lanjutkan semua harap dan impian dari tubuh kecil ini. Aku yakin kalian akan mampu, karena kalianlah orang-orang besar itu, yang ada dan ditakdirkan untuk menjadikan hal-hal yang kecil menjadi besar penuh arti dan makna.

Mobil berjalan dalam gemerlap meriahnya lampu-lampu di Gang Pinggir. Kerinduanku telah terobati, entah dengan kerinduanmu pada diriku, itupun jika kau miliki.

Sengaja aku berlama-lamaan mengitari gang itu, melalui tempat-tempat yang biasa kuhampiri menapaki hari-hariku, dulu. Terima kasih Sopir Manisku, yang setia menemani dan memuaskan kerinduanku pada kalian semua.

Dan kamu, Nik, kamu pasti sedang bercengkrama beserta keluargamu, beserta Bunda Mamamu, mengutarakan mimpi-mimpimu, meluapkan kegembiraanmu atas semua yang telah kaulalui hari itu, melarutkan canda dan tawa bersama saudara-saudaramu, dan melupakan aku!

Selamat tinggal, Nik!

Sekali lagi aku berputar mengitari Padepokan itu.

Kebon Dalem, terlalu banyak yang kausisakan untukku dalam kesuntukan waktuku. Seakan kau malu menatap wajahku, karena segala yang telah kau berikan kepadaku, ternyata belum lagi banyak artinya, masih banyak lagi yang belum kuketahui di luar pagar tembok palang pintumu.

Aku pergi!

Bangunan itu semakin lama makin mengecil, ibarat menara di tengah kegelapan malam. Di kejauhan, di sisi selatan, bukit-bukit dan pegunungan itu seolah menenggelamkan kotaku, Kota Tua Negeri Castle-ku.

Diantara sisa orang-orang yang berlalu-lalang, tidak ada lagi yang kukenal. Tidak, aku tidak akan berkecil hati. selamat tinggal kalian semua, selamat tinggal Kota Tua, selamat tinggal Kota Lama, selamat tinggal semua!

Kota itu semakin jauh di belakang, seolah semakin jauh meninggalkan diriku, menjauhkan diriku dari masa lalu, untuk kembali menjadi pribadi yang utuh, bukan membayangi seseorang, terlebih bukan menjadi bayang-bayang seseorang, sekalipun seseorang itu sangat kuhormati.

Dan aku harus menafsirkan perpisahan kedua ini sebagai tidak menyedihkan. Tak ada lagi yang dapat kuharapkan untuk perkembanganku, baik di Kota Tua, maupun di Kota Lama, tempat yang sama-sama pernah menelan masa mudaku.

Aku akan lama pergi untuk suatu saat kembali yang terakhir kalinya. Aku berangkat, pergi, untuk menjadi diriku yang baru, menjadi seorang pribadi.

Sampai bertemu lagi!

……kuceritakan menjelang tahun berganti, kepada Dara Manis yang setia menemani hari-hariku saat ini, saat sejenak aku berada di Kota Lama, dan kutuliskan kembali disela-sela tubuh ini lelah setelah seharian mengantar tissue……

Cilebut, di Awal Tahun Baru.