Senja Terakhir

“Aku adalah senja yang sama. Senja yang tak berani mengucapkan selamat tinggal. Senja yang selalu menolak pergi meski dihalau paksa oleh Sang Waktu.”

to Dearest Shana

Malam telah merambah ketika Tian tiba di sebuah restoran dan memilih duduk di sudut favoritnya. Mila menyusul belakangan karena pekerjaan tambahan di kantor yang membuatnya pulang terlambat.

Setelah hampir satu jam Tian menunggu, Mila akhirnya datang juga. Di atas meja itu sudah tersedia sepiring nasi, seporsi bebek panggang dan sepiring spageti.

“Kamu sudah memesankannya untukku, Tian?” tanya Mila.
“Iya, kamu selalu bilang suka dengan bebek panggang di restoran ini bukan?” jawab Tian.
“Kamu selalu mengingatnya dengan baik.” jawab Mila lagi sambil melempar senyum.

Tian tidak banyak berkata setelahnya. Mereka berdua tampak menikmati hidangan itu.

Di tengah acara malam itu, Tian merogoh saku celananya. Ia telah menyiapkan sekotak cincin emas yang akan diberikan untuk melamar sang kekasih. Namun belum sempat Tian benar-benar mengeluarkan cincin itu, Mila sudah menyelanya terlebih dulu.

“Tian, maaf…” kata Mila.
“Maaf kenapa? Apa yang kamu lakukan?” tanya Tian heran.
“Soal Ibu. Beliau tidak merestui kita.” kata Mila.

Kotak cincin yang telah digenggam Tian di bawah meja itu pun urung ditunjukkannya kepada Mila.

“Kenapa? Kita telah lama bersama dan saling mencintai. Penghasilan kita juga sudah cukup baik untuk bisa berkeluarga!” kata Tian yang tidak dapat menyembunyikan kecewanya.
“Bukan itu, Tian! Kamu sudah tahu kan, masalah kita bukan itu!” jawab Mila sambil menatap mata Tian dengan penuh kesedihan.
“Aku tahu kamu akan menjadi suami yang baik…” lanjut Mila. “Namun, biar bagaimanapun, kamu tidak bisa menjadi imamku disaat tanganmu masih menggenggam rosario.”

Lelaki itu terdiam. Spageti yang masih belum habis disantapnya pun dibiarkan mendingin begitu saja. Dengan berurai air mata, Mila meminta maaf dan meminta Tian melupakannya.

Malam itu menjadi malam terakhir bagi mereka. Tian masih terdiam saat Mila meninggalkan meja itu. Restoran yang indah itu pun menjadi saksi bisu dua jiwa yang saling mencintai tetapi tidak bisa menyatu.

“Kenapa selalu soal itu… Kita selalu se-amin, namun tak se-iman!” erang lelaki itu meratapi malamnya.

Bulan yang tertutup awan seolah mendengkur. Jutaan bintang di angkasa yang sedari tadi bergelimang cahya bahkan seolah tahu diri, menyembunyikan kilaunya dibalik awan kelabu, menyelinap dalam gigil dan gelapnya takdir sepasang anak manusia.

#Echomoro081022

Tinggalkan komentar