OUR HEART

Seorang pria datang tanpa menyebutkan nama. Dalam kesuntukan waktuku, kami kembali bersua di remang senja. Ia hadir, mengisi dan mewarnai sepi hari-hariku hingga menjadi ceria dan penuh warna. Selalu ada tawa bersamanya. Benak ini bersuka. Jiwa ini bahagia bersamanya.

Lewat senja yang merona, ia mengingatkan kepadaku tentang berharganya Sang Waktu, tentang syukur atas hidup yang dianugerahkan olehNya.

Lewat kereta yang selalu melintas di batas senja, Ia menunjukkan kepadaku tentang makna kesetiaan, tentang orang-orang terkasih, tentang arti kerinduan.

Lewat secangkir cappuccino, Ia mengajarkan kepadaku perihal hangat kebersamaan, perihal ketulusan dan pekerti kasih yang begitu agung untuk diperjuangkan, bukan dipertanyakan.

Oleh semesta raya seolah kami kembali dipertemukan. Dalam kebersamaan, kutemukan pukau indahnya kasih. Lewat keajaiban sikap, perbuatan serta tutur katanya yang begitu sederhana namun selalu menyisakan makna, aku kembali disadarkan, bahwa hidup ini begitu indah sekedar untuk dilalui, namun terlebih diberi makna, bahwa roda kehidupan haruslah tetap diputar.

Dalam sejengkal waktu pula, Ia mengajariku tentang hakikat dan makna kehidupan yang selama ini tak kuhiraukan, tak kupedulikan. Ada haru terselip dalam kalbuku. Ia tak pernah merayuku, namun benak ini selalu tersipu. Dalam sekejab, hari-hari suntukku berubah menjadi penuh warna, penuh suka, dipenuhi pukau oleh cinta. Dan oleh kesederhanaan sikap serta perbuatan kasihnya, kebersamaan kami selalu berujung pada… kerinduan.

Siapakah sesungguhnya lelaki ajaib yang memberikan semua itu kepadaku?

Hari itu baru kusadari sungguh tentang pentingnya arti sebuah nama. Tanpa nama, yang tersisa hanyalah tanya. Namun apalah artinya nama dibanding semua yang telah dilakukannya?

Pada akhirnya aku tahu, lelaki berambut sebahu itu bernama Dika, yang hadir, memberi warna, memenuhi suka gembiraku, mengajariku tentang pekerti kasih dan menunjukkan kepadaku perihal sayang serta menjadikanku bahagianya.

Dika, sosok ajaib yang mengisi dan mewarnai hari-hari sepiku. Dika membuatku kembali bisa tertawa, Bersama Dika benakku selalu bersuka. Dika pula yang pada akhirnya menunjukkan kepadaku perihal kedamaian, hingga pada akhirnya aku dapat berdamai dengan diriku sendiri. Perdamaianku dengan diri sendiri berujung pada benih-benih kasih yang tak sanggup lagi untuk kusemai seorang diri. Dalam benakku, benih-benih kasih itu semakin bermekaran dalam tiap kebersamaan kami.

Seiring bergulirnya Sang Waktu, jiwa yang lemah ini tak lagi sanggup membendung curahan kasih yang dipersembahkan oleh seorang Dika.
Dan jika ada satu kegilaan yang pernah kulakukan sepanjang hidupku, itu adalah saat dengan kesadaran penuh kunyatakan perasaan suka gembiraku di hadapan Dika.

Saat itu menjadi saat terindah dalam hidupku. Dengan sadar semua kuputuskan, dengan sadar pula kunyatakan segala rasa yang membuncah dalam benakku. Dan pada akhirnya pula, semesta raya merestui keputusanku. Dika mempersembahkan hatinya, Dika menegaskan cintanya, tak berssyarat, lewat secangkir cappuccino.

“Cappuccino ini… hati ini… boleh Sherly miliki… tak bersyarat…”

Senja, kereta dan cappuccino adalah Dika, yang memberikan tulus kasih dan sayangnya kepada jiwa rapuh yang selalu merindukan kehangatan ini. Dika adalah pribadi sederhana, apa adanya dan lelaki baik yang memberikan teduh kedamaian dengan caranya yang begitu unik tiada duanya. Dika mengecupku lembut ketika batin ini memerah, Dika menjaga jauh saat batin ini menjadi marah.

Senja, kereta dan cappuccino adalah Dika. Di setiap ambang senja, Dika selalu hadir mempersembahkan cinta. Di setiap akhir sebuah hari, Dika selalu menyisakan rindu beserta sejuta lima ceritanya. Dan pada setiap kereta yang melintas di remang senja, Dika mengajarkan satu hal penting kepadaku, betapa kerinduan adalah hari-hari bahagia selama menunggu sebuah perjumpaan.

Ini adalah tentang kebersamaan kasih bersama Dika, Dika-ku, Cappuccioku, Lelaki Ajaibku. Ini bukan sekedar tentang pelukan-pelukan dan ciuman-ciuman manja dalam kebersamaan, namun terlebih tentang bagaimana kebersamaan itu seharusnya dilalui. Ini adalah tentang kejujuran, tentang kepercayaan, tanpa kemunafikan seperti yang banyak terjadi dalam jalinan tali kasih. Ini bukan tentang rayuan-rayuan manja yang hanya sebatas kata, terlebih bisa maut yang meresap hingga ke kedalaman hati, hingga yang bersisa hanyalah tulus kepasrahan demi damai suka cita kebahagiaan.

Seajaib apakah seorang Dika yang mampu memperkosa batin jiwa ragaku tanpa bersetubuh?