The Hummingbird #7

The Hummingbird

Bagian Ketujuh

 

wp-1469480535221.jpegSenja menggelora di ufuk cakrawala. Warna jingga di kaki langit bagian barat kian merona. Satu per satu lampu mulai dinyalakan. Desir angin yang berdisik diantara bangunan kuno itu semakin mencekam. Jalanan yang lengang seolah tahu betapa tidak seharusnya kesepian menjadi penguasa saat senja mulai datang. Kota ini begitu senyap, sunyi dan pulas. Perlahan keheningan memasung kerinduan untuk saling menyapa. Awan jingga yang berarak mulai tenggelam ditelan bumi.

Kesenyapan semakin bergejolak, menyiratkan kerinduan pada kenangan siang yang masih bersisa. Ada yang aneh dari kesunyian kota kecil ini. Seolah semua setuju untuk diam, layaknya kesepakatan diantara mereka, atau bahkan mungkin aturan langsung dari para tetua.

Kerinduan akan terang dan riuhnya hari bertaburan di sudut-sudut bangunan tua di kota kecil ini. Sisanya hanyalah senyuman, seolah kesedihan pantang untuk diperbincangkan. Mungkin orang-orang itu memang enggan untuk berbicara tentang kesedihan. Seolah mereka takut, jika sampai alpa dan berbicara tentang kesedihan, mulutnya akan mengatup untuk selamanya.

Lebih takut lagi kalau sampai suara tidak akan pernah keluar lagi dari masing-masing mulut mereka. Jadilah semua berbicara yang indah-indah. Tentang kenangan, kebersamaan, hingga basa-basi romansa yang sesungguhnya menelikung suara hati masing-masing.

Orang-orang mulai berbicara tentang nostalgi, segala sesuatu yang indah, yang sejenak mengembalikan memori usang mereka pada beberapa saat yang pernah mereka lalui.

Dengan berbagai cara, mereka mulai lantang berbicara. Masing-masing mulai menunjukan keberadaannya. Ada yang mulai membanggakan posisi jabatannya, ada yang mulai membanggakan anak didiknya, tugas dan kewajiban dari perusahaannya, hingga keramaian di remang warung depan rumahnya.

Semua tentang cerita-cerita indah kesuksesan dan jati dirinya saat ini. Bisa dikata, hampir semua berbicara tentang keindahan, seolah tiada sedih yang selalu menyisakan air mata.

Orang-orang itu seolah tak ingin mengalami kesedihan. Mereka akan berupaya sekuat tenaga untuk menyembunyikan rapat-rapat setiap kesakitan yang datang, bahkan hingga bayang-bayang mereka sendiripun tidak akan tahu di mana kesedihan itu berada.

Sepanjang waktu, yang tampak hanya wajah-wajah bahagia, tawa yang menggelegar, basa-basi keriangan yang begitu meriah. Orang-orang itu selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus kealpaannya karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara.

Dunia adalah bahagia, begitulah kata-kata yang selalu dikumandangkan. Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa, yang kalau perlu harus dimusnahkan.

Sejak orok sekalipun mereka tahu, bahwa kata-kata itu seperti sihir, yang terus dikumandangkan kepada leluhur mereka. Ibu-ibu muda selalu membuai anak-anaknya dengan senandung lirik anti kesedihan. Ketika mereka besar dan bertanya tentang kata sedih, buru-buru dibungkamnya rapat-rapat mulut mereka sambil berujar, bahwa penguasa kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut mereka.

“Tinggalkan pilu kesedihanmu, Nak, basuhlah air matamu demi dunia yang bersuka, jauhi dunia gelapmu, hanya tawa yang berhak tinggal di hati kita!” demikian kira-kira senandung itu.

Sambil menikmati kehangatan dada ibunya, bayi-bayi menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia.

Benar-benar kota kecil yang penuh suka cita. Semua mematuhi peraturan tanpa kecuali. Termasuk para lelaki di kota kecil ini. Mereka seolah mengagungkan bahwa kesedihan adalah kejahatan besar. Air mata harus ditekan habis-habisan. Mereka seperti lupa dengan realita kehidupannya. Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang lemah. Begitulah cemoohnya.

“Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan.”

Namun sebuah senja tidak akan pernah bisa berbohong. Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti air mata yang hampir jatuh, kesedihan seolah tersembul dibalik riang ceria wajah seorang Tania.

Ya, dibalik segala yang melekat pada dirinya, penampilan, gaya hingga semua yang dikenakannya, tak banyak orang tahu, betapa batin jiwa seorang Tania meradang, meneriakkan keadilan bagi nasib takdir hisdupnya.

Tania hanya menginginkan kedamaian, sama seperti orang-orang di kota kecil ini, sebuah kedamaian yang akan membawanya pada suka cita yang tulus tanpa kepura-puraan. Semua bermula dari statusnya sebagai seorang janda muda nan berada.

Tak sedikit laki-laki yang tak kuasa menahan dengus nafasnya sendiri yang terselimuti nafsu dan keinginan badani ketika berhadapan dengan Tania. Belum lagi ulah laki-laki pengecut yang sejenak melupakan istri bahkan anak-anaknya demi sekedar menyapa Tania, dan memang sebuah fakta absolut dimana Tania memiliki pesona yang membuat tiap ludah laki-laki akan tercekik di lehernya sendiri.

Belum lagi ditambah cibiran ibi- ibu, para istri yang merasa tersaingi dengan keberadaan Tania. Tak sedikit dari mereka yang bahkan tegas mencemooh, mengolok-olok hingga menghakimi sepihak seorang Tania sebagai pengganggu rumah tangga orang lain. Itu semua adalah fakta yang tak banyak orang tahu, dan Tania mesti menerima semua itu dengan kepenuhan hatinya.

Dan pabila senja mulai menjelang, Tania selalu berpasrah menerima semua perlakuan itu hari demi hari. Ia selalu berusaha keras untuk mengikat kepedihan itu, menutup rapat-rapat mulutnya dan berusaha mati-matian agar kesedihan itu tidak meledak. Tania berusaha diam, sekalipun dalam benak hatinya yang terdalam ia menahan pedih perih kesakitan itu sepanjang nafasnya yang masih bersisa. Ia selalu berusaha untuk tetap diam di rumah, satu-satunya istana tempatnya mengadu dan berpasrah, dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat kesedihan tidak jebol dari mulut dan air matanya.

Tania berusaha sekuat tenaga dan mencari segala cara agar kesedihan tetap pada tempatnya, mungkin di ujung paling sepi di dalam lubuk hatinya, bahkan bilamana perlu, Tuhan sekalipun tidak boleh menemukannya.

Dalam ketidakberdayaan, pernah suatu ketika ia berpikiran untuk menukar dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan karena mulut yang tak bisa dibuka lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang paling tajam.

Kepiluannya memuncak manakala pada setiap semburat jingga di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka sekedar untuk mendengar keluh kesahnya. Seolah semua rapat menutup pintu dan membiarkan dirinya menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumahnya sendiri.

Ironisnya lagi, para lelaki itu tak pernah sadar dengan kondisi yang seperti itu, bahkan istri-istri mereka masih juga mengolok-olok nasib hidup yang dialaminya.

Tania hanya bisa berpasrah diri untuk semua itu. Dalam keheningan, ia selalu merasakan kepedihan itu mengakar pada nasib yang menimpanya. Ia merasa seolah sedahan angin yang berhembus di atas pepohonan, menyisakan sembilu dari gesekan daun-daunnya, seolah alam sekalipun turut menyenandungkan requiem yang paling pedih bagi dirinya. Badan pohon-pohon itu bergaung bersahut-sahutan dengan irama yang lantang, menyenandungkan kesedihan yang pekat.

Dalam hening dan lirih sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya, ia selalu hanya bisa berucap,

“Jangan suruh aku untuk pergi. Di sini, di tempat inilah seorang diri kunafkahi keluargaku, anak-anakku. Aku tidak ingin anak-anakku hilang bersama badai. Aku selalu bercakap kepada mereka. Kuberikan percakapan bernama air mata sebelum hari dimulai. Tentang pedih perih yang harus kuredam, semua itu kujadikan semangat untuk menatap dan menghadapi yang masih tersisa. Aku mencium bau keringat anak-anakku dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki, kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku, selalu sebelum aku berangkat meniti hari. Aku selalu menyambut mereka di setiap senja, kala keheningan membawaku pada damai suka cita kebersamaan. Kota kecil ini adalah nyawa sekaligus hidupku. Tidak semua sama seperti yang kalian kira. Keluargaku bergantung sungguh pada diriku, pada tempat ini, pada kota kecil ini. Maafkan diriku jika kesedihan ini tak sanggup kutahan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong, jangan ambil hidupku, hanya diriku satu-satunya yang dimiliki anak-anakku. Aku dan anak-anakku akan mati tanpa tempat ini.” Suaranya makin menghilang.

Sejak saat itu, ada yang berubah dalam diri Tania. Ia berusaha keras untuk menjadi diri pribadinya yang baru, yang keras oleh tempaan Sang Waktu dan selalu memaknai tiap senja di kota ini dengan penuh canda dan riuhnya tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka lebar-lebar. Meski angin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi jika penduduk kota ini tahu, hati mereka akan menahannya. Jika semua orang tahu, pada setiap senja yang telah tiba, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka akan bisa menerima semuanya dengan suka cita. Kesedihan yang sangat bersahabat.

Dan ketika aku mulai mengenal dan memahami semuanya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia.

Berterimakasihlah kepada kesedihan dan air mata karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.

Sebuah senja yang indah,

sebuah senja yang pekat….