Senja Di Anyer

Elena & Surga Yang Kubayangkan

Bagian Pertama

Aku masih ingat betul sebaris diksimu,
‘Barangsiapa menginginkan lautan, menceburlah sebelum engkau melupakan hakikat asin pada peluh dan pengalaman.’

Lalu satu lagi sebelum kamu benar-benar pergi,
‘Barangsiapa menginginkan cinta, berserahlah pada kepahitannya, sebelum sepi meledakkan dirimu sebagai sesorang yang tak lagi mampu merasa riang.’

Hari masih terlalu pagi ketika sebaris kalimat itu memenuhi layar hijauku. Jalanan juga masih begitu sepi. Sisa hujan semalaman menyisakan basah di sepanjang jalanan.

Ah, Elena…

Bagiku, Elena mungkin hanyalah sesosok wanita. Elena mungkin hanya akan tinggal sebagai sebuah cerita jauh di bilangan Ibukota sana.

Demikianlah aku dibangkitkan dan ditempatkan di antara cinta dan kematian untuk sesuatu yang disebut keinginan.

Aku hanya menjadi sampah di mata kaum moralis, menjadi api paling biru di mata puisi. Dan sebagaimana puisi, dalam erang aku berseru:
Antara berjuta lima rajawali di langit biru, engkaulah Burung Dara, Elena!’

Begitu kudus, oleh karena nafas Tuhan dihembuskan pada sebongkah tanah liat, saat Ia begitu riang memberi nyawa pada hati yang lusuh dan semangat yang pudar.

Engkau beterbangan bagai parisetra dan memperagakan seluruh dirimu adalah sinar kehidupan, yang tak terlampaui oleh puisi meski berjuta lima kutulis-berjuta lima kuerangkan, yang tak terbendung oleh risalah benci dan keputusasaan.

Bahkan sesekali, saat terlintas dalam benakku untuk mengakhiri semua ini, bunuh diri bilamana perlu, hangat ciumanmu meledakkan semua makna mati yang pernah ada, pernah dituliskan, pernah diwahyukan, hingga aku selalu berpulang kepadamu, pada surga yang kubayangkan.

Ya, jarak kita begitu dekat, sejarak engkau mengulurkan tangan, hingga deru nafasmu yang tak pernah sanggup kautahan selalu dapat kudengar, hingga buncah desah gairahmu tak lagi terpadamkan, sementara api ketakutan justru membelenggu alam pikir hingga imaji bawah sadarku.

Ingin rasanya kubunuh belenggu alam pikirku, imajiku, kesadaranku, namun lagi-lagi aku seperti diingatkan, bahwa membunuh demi ketakutan adalah mula pertama dari sejarah dosa paling kuno yang tak mau kuulang.

“Kau tahu siapa Kristus, Elena?” ingatku waktu itu. Dirimu hanya menggeleng.

“Oleh karena cinta ia bangkit dan membangkitkan!”

Tapi begitulah zaman saat para penyamun menguasai seluruh sendi kekuasaan.

“Keren!” bisikmu bermadah.

“Siapa yang keren?” tanyaku.

“Kisahnya emang keren… tapi yang cerita selalu lebih keren.” bisiknya tepat di depan daun telingaku kemudian mendaratkan bibir merahnya di wajahku.

“Kamu tahu, seperti apa dunia ketika para penyamun duduk di tampuk kekuasaan?”

“Seperti apa? Es cendhol?”

“Lebih parah ketimbang es cendhol.”

“Oh ya?”

“Kebaikan akan segera mati dan cinta… tak lebih dari p4h4 dan v4g1n4 di ranjang-ranjang artifisial. Sesaat memang tampak megah, namun dalam beberapa erangan saja, dunia menjadi basah oleh air mata. Itu adalah saat para wanita penghibur menjadi pahlawan bagi para penguasa, para pecundang berdasi.”

“Karena itukah kamu menarikku dari semua pekat itu?”

“Aku Lazarus, Elena… yang dibangkitkan untuk kembali hidup di luar definisi dangkal tersebut. Aku selalu membayangkan dirimu bagai sebuah desa. Seluruh dirimu adalah tanah subur, tanah gembur, dan kasihku tumbuh di sana, menjalari ruang-ruang kosong cakrawala, menjadikan pemandangan lebih lembut dari senja.”

“Tuh kan…malah merayu, kan…”

“Tidak Elena! Sebab saat engkau mengulurkan tangan, aku melihat Tuhan masih saja ada di binar matamu…”

“Ya tapi… wanita mana yang akan sanggup coba? Sepatah kata lagi keluar dari bibirmu… akan kuperkosa kamu sampai kita berdua tak bisa bangun lagi!” ancammu dengan nada begitu pasti.

Kuturuti pintanya. Aku terdiam menahan wajah pasrah Elena dalam dekapku. Hanya terdiam, bersama desau pohon-pohon pinus yang lena di bawah kerlip bintang menjelang pagi.

Aku betul-betul terdiam, sekalipun peluh menetes dari jiwa yang paling sepi ini, menjadi hujan, menjadi tarian dedaunan.

“Pada ruang-ruang indah namun tak jelas bak Orpheus dan Eurydice seperti inikah surga yang selalu kubayangkan akan sosok dirimu, Elena?” gumam gejolak benakku.

“Pada cinta semacam itukah surga yang selalu kaubayangkan, Laz?” bisik Elena.

“Di dunia yang dipenuhi dengan drama kebodohan dan ketidaktahuan ini, mencintai adalah kembali ke dalam jiwa yang abadi.”

“Seperti sebuah negara yang kehilangan maknanya oleh karena keinginan berkuasa yang tak memiliki mata.”

“Wuihhh… keren…” kagumku.

“Kan aku cuma mengulang apa yang pernah kamu bilang. Justru kamu yang keren, Laz… bisa merangkai diksi seperti itu.”

“Iya. dunia sudah berubah, El… bahkan agama berubah pedang dan senjata karena dangkal menganggap Tuhan semata miliknya.”

“Lalu?”

“Lalu hukum sekalipun selalu punya halaman belakang, dimana pasal-pasal tertentu tak pernah sampai di meja panitera.”

“Jangan bicara soal hukum, El… capek! Bicaralah soal cinta saja biar benakku merona.”

“Cinta juga nyaris sirna, El… mereka beranggapan bahwa kel4m1n sama seperti sebuah kota, yang setiap waktu dapat dikunjungi, setiap waktu pula dapat ditinggalkan, saat riuhnya membuat jenuh.”

“Mereka tak paham cinta ini, Laz… cinta kita!”

“Yuuup… mereka tak paham apa yang menyingsing dalam pelukan kita. Mereka tak paham bahwa pengembaraan hidup sejatinya adalah untuk kembali kepada Sang Esa. Dan pada remahnya, benih penghiburan itu tumbuh menjelma pohon-pohon pelindung.”

“Di sanalah aku ingin hidup, Laz… dan tak layu pada mata indahmu.”

“Oh ya?”

“Iya. Dalam kesepianlah Tuhan menciptakan kecantikan cintamu hingga aku selalu ingin tenggelam seiring pelukmu.”

“Haruskah kuamini penyerahanmu yang begitu dini ini, El?”

“Ikutlah denganku, Laz… Tinggallah bersamaku. Aku akan dengan suka cita membaca semua karyamu.”

“Ini bukan Negeri Pelangi, El…”

“Aku tak peduli. Bersamamu sudah lebih dari cukup. Aku ingin lebih menikmati hidup bersamamu tentunya.”

Selesailah dunia, seiring bait-bait usang yang lembut mengalun :

…Deru sang ombak bersilih ke pantai
Disambut ayunan nyiur melambai
Rembulan megah di atas mahligai
Tersenyum melihat kita berdua
Angin membawa lagu cinta
Sejuta bintang bermain mata
Seakan rela dua insan
Di dalam skenarionya…

“Sampai dimana kebersamaan ini akan kita lalui, El?”

“Aku mencintaimu, Laz… Menikahlah denganku! Kamu masih tetap kukuh ingin pulang kampung?”

Tinggalkan komentar