Sebuah Senja Jelang Pukul Lima

Kau datang kembali pada sebuah senja jelang pukul lima. Bukan satu atau lima tahun kita tak lagi bersua, lebih tepatnya pada bilangan angka lima belas. Sebuah bilangan angka yang telah mengubahmu menjadi seorang ibu, lengkap dengan sepasang keturunan, lelaki dan perempuan. Mereka pasti manis, seperti ibunya, satunya lagi pasti tinggi gagah, seperti bapaknya. Berempat kalian masih bertahan di Kota Tua, Kota Lumpia beserta segala kenangan yang masih tersisa kumiliki disana.

Dalam temaram remang senja, sekilas kenangan akan dirimu berlintasan mengaduk benakku. Dari balik jendela istana kebesaran tempatku berkarya, empasan-empasan badai ingatan bermunculan saling tindih, seolah yang satu selalu ingin dikedepankan atas ingatan yang lain. Semua itu adalah tentang dirimu. Diri pribadimu. Sosok yang kukenal dalam sepenggal kisah di sudut bangunan tiga lantai yang menjulang tepat di pinggir kali itu.

Kebon Dalem, puihhh… serasa angkuh benar kedua kata itu sekedar untuk diucapkan. Mungkin terlalu singkat pengembaraan citaku disana, namun kenangan akan segala yang ada tak mungkin kulupa. Wajah dan rupa boleh berbeda, namun ingatan akan kepingan-kepingan waktu dalam suntuk kebersamaan kita kala mengukir awal cita tak akan terhapus begitu saja.

Masih dapat kuingat dengan baik pada hari terakhir aku berdiri disana, di depan gerbang utama. Ingatan demi ingatan yang terserak itu bagai gulungan ombak yang menjulang, laut seakan terangkat, bergemulung menelan pantai. Suaranya bergemuruh. Bergederam. Aku terhempas di kedalaman palung waktuku. Banyak kisah kuukir dalam singkat pengembaraan waktuku disana.

Kemudian senja berganti malam. Gelisahku dihantam debar, saat lampu kota mulai menyala. Bangunan tiga lantai itu masih ada disana. Dingin, bagai mengiris muka. Kulayangkan pandangku ke puncak menara, tak tampak apa-apa, kecuali lesat cahaya yang bagai terentang sedapat-dapatnya. Kurasakan juga, saat pandanganku menyapu menyusur muka sungai, lesat cahaya itu seolah ikut bergolak, berkecamuk, mengempas-empas, menerpa-nerpa segala yang kuingat disana. Aku tertegun. Ada senyum dalam kepingan waktuku di tempat itu, dulu. Lalu kembali kulepas pandang ke puncak menara… Aku pernah tinggal disana!

Semua masih ada, kecuali diri pribadiku, yang mengembara mengais asa dari satu kota ke kota lain, hingga pada akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kota kelahiranku. Ahh, lagi-lagi kenangan… Roda kehidupan harus terus berputar. Kutinggalkan segala kecamuk dalam benakku. Sebagian ingin rasanya kembali mengulang semua itu, sebagian kecamuk di luar kepalaku bagai tertahan, teredam, lalu kecamuk lain bergolak, membangkitkan asaku dan meninggalkan semua itu.

Kabar darimu pada sebuah senja jelang pukul lima kali itu membuatku terdiam barang sepersekian detik bergulirnya Sang Waktu. Ingatanku tentang dirimu kembali bermunculan. Kepingan-kepingan kisah itu berkelabatan bagai nyala dian, kadang meredup, kadang meletup, membuat bayang diri pribadimu menjadi yang terdepan diantara sejuta lima kisah lainnya.

Begitu ingatanku telah kembali, segala gemuruh-geredam kembali menghenyak dalam benakku. Angin yang bertiup bagai menampar, dingin mengiris, aku terkejut menyadari sekian banyak kisah yang pernah kita lalui bersama. Rasanya bagai sakal angin laut yang menerpa wajahku, seperti gulungan ombak yang membawa segala kisah itu kembali di hadapanku.

Percakapan itu, dialog pertama kami waktu itu, kembali terngiang. Aku tak menyangka, dalam kosong, sepinya bibir pantai, debur ombak melengang. Dirimu, masih juga bertahan, memilih mengabdi dan berkarya di tempat itu. Sebuah pilihan.

“Sudah selama itu, ya? Rasanya aneh sekali saat ini kita saling memanggil dengan sebutan Bu dan Pak, satu hal yang tak pernah kita bayangkan kala itu.”

“Lima belas tahun… dan aku hampir lupa dengan segala yang ada disana.”

“Belum lama kemarin sengaja aku lewat, melintas di depan bangunan itu.”

“Aku sudah lama pindah di Sambiroto!”

“Iya, Pak Sur pernah bilang waktu ketemu dulu.”

“Kangen ya… sama diriku… terus sengaja lewat di tempat itu…”

Hahahaha… ingin rasanya bertemu kembali dengan semuanya.”

“Sekarang sudah tersebar, banyak yang baru disana!”

“Andai semua terkomunikasikan sebelumnya, tentu lain jadinya.”

“Suatu saat pasti bisa!”

Hening…

“Kalau melihat gambar dirimu yang ada di profile, aku jadi ingat semuanya.”

“Tambah bulat kan sekarang…”

Hahahaha… nanti semua ini akan jadi satu cerita.”

“Cerita apa?”

“Mestinya kamu yang mengabadikan semua ini dalam bentuk tulisan. Kan bukan aku yang jadi guru Bahasa Indonesia?”

“Tapi kan sama-sama pernah belajar sastra!”

Hahahaha…”

“Aku masih ingat betul, waktu itu sampai ada salah satu murid kita yang tak menyukaiku gara-gara mengira kalau aku pacarmu.”

Hahahaha…”

Perbincangan surut ke belakang itu rasanya tak ingin segera kuakhiri. Namun aku harus segera beranjak. Aku tahu, ia tak akan mau beringsut mengakhiri dialog malam ini, atau setidaknya masih ingin saling mendengar cerita masing-masing. Namun mendadak aku tersadar satu hal, kami telah memiliki dunia masing-masing. Segala kebersamaan yang pernah kami lewati, kini tinggallah menjadi sebuah kenangan.

Ahh, lagi-lagi kenangan… Mau tidak mau, kami harus menelan satu diksi itu dengan satu rasa yang entah… lega, bahagia dan entah seperti debar. Sekali lagi, setelah masing-masing dari kami saling tersadar, kedekatan itu tak lebih dari satu cerita, yang terbingkai indah dalam selubung kenangan dalam sepenggal waktu saat masih bersama, dulu, dulu sekali, ketika wajah itu tampak masih begitu ranum, ketika segala sesuatunya masih begitu sederhana, ketika masing-masing dari kami menyapa dengan sebutan Pak dan Bu sebagai satu bentuk penghormatan atas jabatan profesi masing-msing, bukan sebuah status sebagai seorang Bapak dan Ibu.

Walau sejuta lima kenangan itu telah lima belas tahun berlalu, namun segala yang kami rasa saat ini bagai baru satu atau lima tahun berselang. Inilah indahnya sebuah kenangan dalam suatu ingatan. Rasanya, diri pribadimu yang sekarang tampaknya bukanlah sosok yang begitu asing dan sangat kukenal dengan baik. Ingatanku akan diri pribadimu bagai dikejutkan oleh empasan, bukan lagi kecipak, deburan ombak di tepian bibir pantai. Deburan ombak yang menerpa suntuk kebersamaan kita kala itu. Deburan ombak yang serasa bergerak, bergeser, membuat sejuta lima kenangan yang kita miliki serta-merta berlompatan dari masing-masing ingatan kita. Deburan ombak ingatan itu bagai kecamuk lidah air, cahaya yang mengempas-empas, dan kembali mengantarkan kita pada sejengkal masa bersama kala itu. Ingatan itu bagai sebuah kenangan yang begitu gugup, saling tertegun, dengan selintas cahaya mengempas, menerpa-nerpa, seolah semua itu berasal dari suatu tempat di masa lalu, menggeliat, bergolak bangkit dan meringkus benak kami.

Tiap kali cahaya ingatan itu melesat, menerpa kecamuk-kecipak lidah air, kenangan itu bagai terlambung ke waktu lain. Ingatan yang begitu gemetar, bahkan serasa berpeluh, saat menapak-meniti puing-puing kenangan sepanjang hari-hari yang pernah kita lalui bersama kala itu.

Memandang sekilas paras wajahmu terkini, ahh, kamu masih seperti dulu. Hanya bulat wajahmu saja yang semakin tampak begitu menonjol demi selusin waktu kau asuh kedua anak dan keluargamu. Semua tampak masih sama, seperti dulu. Kamu masih seperti dulu, gelisah itu, debar itu, rasa gemetar yang selalu bertambah-tambah, kenapa juga dulu tak kita tegaskan seluruh asa yang menghinggapi benak kita?

“Akhiran nama pada emailmu, kenapa Istiawan? Harusnya Prasetyo!”

Hahahaha… salah sendiri, kenapa dulu ngga berani bilang!”

Nyesel juga aku sekarang!”

Lha dulu gimana?”

“Bukan menyesal yang itu maksudku. Kenapa juga dulu tidak menulis tentang dirimu, tentang kita, lengkap dengan sejuta lima tawa yang selalu kita lalui. Bahkan kelihatannya cuma ada seujung kuku cerita tentang kamu dalam tulisan-tulisanku.”

O ya?”

“Semua itu awalnya cuma tulisan-tulisan pendek refleksi keseharianku, lalu kusatukan dan kubuat sedemikian rupa biar lebih enak dibaca.”

“Baguslah itu!”

Hahaha… kamu pasti tidak pernah tahu, kan?”

Nggak!”

“Lima belas tahun lebih proses penulisanku ada disitu semua. Sayang ya… bagian akhir dari tulisan itu bukan kamu, hahahaha…”

“Tapi endingnya tetep bisa menikah dengan Bidadari Putihmu, kan? Berbahagialah kamu, Kawan, takdir telah memihakmu. Tuhan telah merenda masing-masing hidup kita dengan penuh cinta dan keindahan.”

Kututup sampai di sini, ketika baris-baris percakapan perlahan berubah menjadi sekeping kenangan yang begitu sendu. Kiranya cukup kami berdua yang tahu. Maaf, tidak untuk semua. Setidaknya, sekali lagi aku telah membuktikan, betapa seorang sahabat sekalipun dapat terjalin antara dua sosok yang berbeda lawan jenis. Sekecil apapun rasa yang bersisa, biarlah menjadi sekeping kasih, yang akan selalu mewarnai indahnya percakapan demi percakapan diantara gemetar, debar dan gelisah kebersamaan yang bersisa masih kami miliki.

Pertemuan kembali pada sebuah senja jelang pukul lima itu menyisakan sejuta lima tawa. Aku yakin, kamu pasti juga senang, tertawa, nyaris tanpa suara, hanya guncang bungkah pundak, bibir yang tertarik lebar, dan garis melengkung dalam dari ujung bibir ke sudut mata, bagai dipahat sempurna.

Aah… kenangan… adakah yang lebih indah selain mewarnai kembali indahnya ingatan dalam suntuknya kebersamaan waktu yang pernah kita lalui, Kawan?!