The Hummingbird #4

The Hummingbird

Bagian Keempat

 

wp-1469480535221.jpegPerempuan itu bernama Tania. Walau kami lama tak bersua, apalagi berbincang bagai kawan lama, namun sejenak reuni kecil kami beberapa waktu lalu sungguh menggugah segalanya. Bagiku sendiri, mata sayu Tania lebih banyak bercerita dibanding yang lainnya.

Malam itu ia duduk di meja tengah, tepat di bawah satu-satunya temaram lampu di kedai ini. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di dinding, sekat-sekat kayu pinus yang kubiarkan menganga, membiarkan rambutnya terurai menyentuh dinding itu, seakan mewakili dirinya yang lelah meniti hari. Namun Tania selalu tertawa, bersuka, seolah tiada bara menganga dalam dadanya. 

Awalnya, kupikir ia seorang karyawati di sebuah kantor, terlebih jika melihat sekilas penampilannya. Ternyata Tania seorang wiraswasta muda. Ah, rupanya sudah jauh dari realita dunia diriku ini. Ya, aku hampir lupa, telah berapa lama kuhabiskan hari-hariku di sini, di kedai ini. Tiga tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku benar-benar lupa, sudah berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan ini, di sini, di kedai ini, hingga aku sampai tak sempat melihat dunia terkini.

Sudahlah, biarkan diriku seorang yang tenggelam dibalik gemerlapnya dunia ini, dunia yang tak pernah tidur, dunia yang kejam, dunia yang bisa merenggut nasib seseorang dan membelenggunya dalam rutinitas sepinya, dunia yang berpendar, seperti dunia sayu milik Tania.

Ya, ketika ia duduk di bangku tengah di kedai ini tadi, sempat kuperhatikan mata sayunya memandang jalanan di luar sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Namun tidak juga kurasa. Mungkin ia sedang menghitung hari-hari sepinya. Mungkin ia tengah merenungi hari-hari sepinya.

Ah, tidak mungkin. Kurasa tidak ada kata sepi dalam kamus hidupnya. Dugaan itu harus kubuang jauh-jauh. Tidak mungkin perempuan secantik itu mengalami kesepian. Apa yang tidak dimiliki Tania yang tak dapat kusebutkan? Semua ada tersedia. Rumah lengkap beserta isinya, mobil yang selalu dapat membawa kemanapun dirinya ingin pergi, butik lengkap dengan segala koleksinya, apalagi? Kenapa Tania begitu murung petang ini?

Lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin aku tertarik atas perilakunya. Tidak-tidak, aku hanya suka dengan matanya. Sepasang mata sayu yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku.

Awalnya, aku tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, otakku mulai menafsirkannya dengan begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar cerita dari mata sayu itu.

Cerita pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa ia selalu gembira, tertawa lepas dan suka menghibur orang lain.

Tapi aku berani menduga, dibalik mata sayu itu, pasti ada sesuatu, sebuah kisah yang mungkin tak ingin didengar orang lain. Dugaanku benar, tapi ketika kutanyakan, mata itu bungkam dan tak ingin bercerita. Terlalu sukar mungkin baginya sekedar untuk mengawali ceritanya, kisah hidupnya.

Kemudian aku ikut terdiam, tak ingin memaksa, tapi entah kenapa justru mata sayu itu membagikan ceritanya. Kemudian ia mulai bertutur, bahwa ia selalu tertawa, mencoba ceria dan suka menghibur orang lain, tak bukan selain untuk melampiaskan suntuk dan penat hari-hari sepinya, masa lalu dan realita yang dihadapinya kini.

Masa lalu, ah, seperti apakah masa lalu di balik sepasang mata yang sayu itu?

Ini pasti tentang laki-laki dan cita cinta hidupnya, demikian kalau boleh kutebak. Ia pasti memiliki seseorang yang begitu dekat, sangat dekat, yang menyayangi dan mencintainya dengan sungguh. Tapi siapa? Dimana saat ini?

Aku yakin, semua ini pasti karena cinta. Tapi mata sayu itu terdiam, cukup lama terdiam. Bisa jadi ia mengingat atau merenungkan ucapan yang kulontarkan tadi, apakah keceriaan itu memang karena cinta yang tertoreh di sana?

Tiada jawab kudapat. Tapi bisa jadi. Bisa jadi semua itu memang karena cinta yang tertoreh di hatinya. Tentu hanya karena cinta yang dapat menyebabkan seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu akan selalu tampil ceria dan penuh suka cita.

Tentu seseorang itu adalah lelaki yang tampan. Ah, mata sayu itu tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan.

Baru kali itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar, cantik dan terasa sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil.

Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku tepat menebak seorang laki-laki tampan yang telah mencuri hatinya.

Hmmm, ini pasti sebuah kisah cinta yang romantis.

Tapi, bukan ketampanan yang membuat mata sayu itu tertarik dan memilihnya. Aku jadi terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya? Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka dengan bau laki-laki? Aroma yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan jantungnya?

Oh, bukan pula rupanya, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi tubuhnya lantas apa?

Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu. Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi? Tentu ia lelaki yang sempurna.

Bukan pula! Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis kemarin sore yang kali pertama jatuh cinta dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat.

Uups, mungkin lebih tepatnya pesan sayang kali ya, sekarang tak lagi kutemukan budaya cinta diatas goresan pena, kasihan kalian-kalian yang tak bisa merasakan sensasi dari tradisi jaman dulu ini.

Kembali ke mata sayu tadi. Aku tahu, ia pasti suka dengan tatapan matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang menjadi pilihannya itu.

Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menanti kedatangannya, mata yang menyemangatinya untuk selalu setia melayaninya, mata yang selalu mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya.

Ah, mata sayu itu kembali berbinar ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia pilih itu. Aku jadi membayangkan mata seseorang itu.

Apa binar mata lelaki itu juga seperti mata sayu itu? Mata yang begitu indah yang terbalut kisah-kisah yang sangat menghanyutkan?

Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu perempuan ini.

Alangkah sulitnya melukiskan mata yang jauh lebih indah dari matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya. Kalaupun ada yang lebih indah, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai seorang yang jadi pilihannya itu. Pantaslah. Sangat pantas menurutku.

Lelaki itu pastilah seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu. Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal serupa.

Kalau memang demikian adanya, lantas siapa dan dimanakah laki-laki pilihannya itu sekarang? Mungkin ia dikhianati oleh laki-laki itu. Mungkin ia ditinggal berselingkuh dengan wanita lain. Atau, justru dirinya yang meninggalkan suaminya karena tertarik pada pria lain?

Ah, sepertinya tidak mungkin ia melakukan itu. Mungkin juga sejuta lima alasan klise lainnya. Entahlah, aku sama sekali tak tertarik sekedar untuk mendengarnya.

Aku hanya terngiang dengan penuturan terakhirnya,

“Aku yakin, kamu akan lebih terkejut kalau mendengar semua kisahku.”

Bagiku, ini saja sudah lebih dari cukup untuk segera mengangkat pena dan mulai menarikannya di atas lembaran-lembaran putih yang masih kosong dan segera melukiskan kisah hidupnya.

Malam telah beranjak pagi, dan hari pun berganti.