The Hummingbird #5

The Hummingbird

Bagian Kelima

 

wp-1469480535221.jpegTania, sebuah nama yang tiba-tiba menjadi istimewa. Setelah tuturan ceritanya, entah kenapa aku menjadi hanyut dalam kisahnya. Sepenggal hidup yang rapi tersembunyi diantara sejuta lima tawa dan cerianya. Namun tidak di sudut matanya. Tatapan itu tak bisa menipu. Tatapan itu menyimpan sesuatu.

Ruang-ruang waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.

Hidupmu seperti tinggal di negeri bulan,” tuturku.

Tania hanya mengangguk, mengiyakan penuturanku.

“Sebuah negeri yang aneh!” lanjutku.

Perempuan itu seperti membaca pikiranku. Dalam hening, ingin rasanya turut merasakan desah kalbunya, menyentuh ujung jemari tangannya, menciumnya dengan lembut satu per satu jemari itu persis seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.

”Negeri bulan itu indah sekali. Suatu saat kamu harus ke sana, aku akan menemanimu, kalau mau.” lanjutku.

Satu hal aku tahu. Aku yakin, Tania pasti menganggapku seorang laki-laki pengkhayal dan negeri bulan pastilah tidak pernah ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu mendapat jawabannya.

Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan.

Senja kian merana. Tania masih setia duduk tepat di sampingku. Kedai ini mulai sepi. Sisa-sisa bau rokok dan gelas-gelas kosong kopi masih bertebaran di mana-mana.

Tubuhnya digeser mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai ini. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Tapi dari sudut pandangku, Tania seolah memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya.

”Kedai ini, ibarat tempat bagi para pemuja malam.” tuturku.

Dalam diamnya, aku seperti melihat separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku lihat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.

”Ha..ha..ha..ha..ha… Kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.”

Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak.

Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menyimak penuturannya. Penuturan yang mungkin baru sekali ini diutarakannya dengan runtut, jelas dan gamblang di depanku.

Mendengar suaranya, aku seperti masuk dalam kerajaan awan. Sekali lagi kulihat tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Namun cahaya dari tubuh itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu seperti tak asing bagiku. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir.

Ah, perempuan memang kadang sungguh ajaib. Juga Tania. Dia hanya seorang perempuan yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya.

Tania seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski ia selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa dengan seringai yang menyilaukan.

”Mengapa kamu datang ke kedai ini lagi? Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak banyak mampu membantumu. Lihatlah, nasibku hanyalah seperti ini, seorang tukang kopi yang bertahan dan mencoba memaknai hidupnya.”

Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan ini. Satu per satu para lelaki di kedai mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang.

Perempuan dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam.

Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.

”Terima kasih kamu masih mau mendengar kisah hidupku.”

Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu.

Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para wanita yang membaca tulisan-tulisanku.

Selalu seperti itu, atau bisa jadi sepasang mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman mengikuti tuturan kisah hidupnya.

”Ha..ha..ha..ha..ha.. Awas kamu jangan jatuh cinta apalagi merindukan diriku setelah pulang nanti ya!”

Seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penghayal sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku akan kembali bertemu dengannya entah kapan nantinya.

Aku benar-benar ingin segera mendengar kelanjutan kisah hidupnya. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai seorang penghayal, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para penghayal pemuja malam.

Seperti yang sudah kutebak, Tania hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.

”Kamu benar-benar ingin tahu kisahku?”

Mata itu kini merajuk. Tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh.

”Tak ada salahnya.” balasku.

Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran.

Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya.

Tania masih menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu.

Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju tempat di mana matahari berasal namun tanpa takut terbakar.

Tapi malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.

Jawaban perempuan itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan kami akan bertemu dengannya lagi, disini, di kedaiku ini.

”Sudah berapa tahun kamu berpisah dengan suamimu?”

“Mantan!”

“Iya, maaf, mantan suamimu.”

Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang pasti akan menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasnya.

”Segalanya begitu indah pada awalnya, tapi lebih indah lagi jauh sebelum aku menikah dengan suami keduaku itu.”

“Ups..” kali ini suaraku betul-betul tercekal.

Ternyata banyak yang tak kutahu dari garis hidup seorang dara bernama Tania ini…………………..

 “Seandainya saja masa lalu bisa kita beli…”

“Masa itu sudah berlalu, relakan, iklaskan semuanya!” potongku.

“Entahlah, aku masih selalu terbayang pada masa-masa itu, masa kejayaanku, masa keemasanku. Dia adalah bos ku sendiri. Kami menikah setelah aku selesai kuliah. Kami tinggal di Bandung waktu itu.”

Tania menghentikan sejenak penuturannya. Nafasnya terasa berat terhembus dari kedua lobang hidungnya. Pandangannya jauh menerawang ke sebuah masa yang telah dilaluinya, dulu.

“Aku sungguh bahagia waktu itu. Sekalipun jarang bersama karena pekerjaannya, tapi entahlah, hatiku sungguh merasa tenteram.”

Kali ini Tania dapat tersenyum.

“Kamu tahu, dia selalu ingin aku tampil sempurna di mata relasi-relasinya. Walau beda sepuluh tahun denganku, namun penampilan baginya adalah yang utama. Setiap kali aku diajak menemui relasinya, aku selalu memakai baju baru, tinggal pilih. Kamu tahu apa warna kesukaannya?”

 “Merah!” sahutku mencoba menebak. Tania tersenyum mendapati ketololanku. Tentu saja aku tak pernah tahu.

“Suamiku sangat senang kalau aku memakai baju putih atau kaos putih dengan celana panjang atau rok mini sekalipun.” lanjutnya sambil tersenyum memamerkan lesung pipitnya. Aku pun turut tersenyum mendapati ketololanku.

“Seiring waktu, dia jatuh sakit. Aku berusaha keras merawatnya, dari gosok gigi, cuci muka, ke belakang, apapun kulakukan untuk suamiku tercinta. Namun takdir berkata lain, akhirnya dia harus ninggalin aku tuk selama-lamanya…”

Kuhentikan sejenak ketika baris-baris cerita itu mulai diiringi tetesan air mata. Terkadang batas antara tawa dan air mata sangatlah tipis. Dalam tawa bisa keluar air mata dan dalam air mata bisa berujung pada tawa kala bersuka mendapati akhir dari tiap duka kita. Dan Tania pun mulai tersenyum.

“Aku ngga tau, sampai sekarang, terutama pada saat aku susah, kenapa dia selalu datang dalam mimpi aku. Apa karena aku terlalu berharap untuk mendapatkan pendamping yang seperti dia?”

“Yuup, manusia boleh berharap, walau Yang Kuasa yang menentukan.” hiburku.

“Di umurku yang sekian tahun ini, aku jadi sudah merasakan berbagai macam bentuk kehidupan. Hidup yang serba berkecukupan sampai kehidupan yang parah, penuh dengan kekurangan, pernah kulalui.”

“Bersyukurlah untuk satu hal itu.” tenangku.

“Tak salah kan jika dalam perjalanan hidupku saat ini aku harus bisa mandiri, berdiri sendiri, berpikir sendiri, cari solusi sendiri masalah-masalahku, bahkan setiap kali orang memfitnah, mengadu domba aku, mencaci, cemburu denganku, aku pun harus bisa membela diri aku sendiri.”

Lagi, sebuah keheningan memasung tragis penuturannya hingga bulir-bulir air mata itu kembali berderai.

“Setiap orang selalu melihat aku dari sisi yang aku pakai. Motor, mobil, rumah yang terbilang cukup mewah, tapi apakah orang-orang itu berpikir kalau sekarang semua itu kulakukan seorang diri? Terkadang kepalaku betul-betul pusing. Aku sering ngga ada uang, bahkan buat uang saku anak-anak aja aku kehabisan.”

Tania sejenak menghela nafas panjangnya yang terasa sesak. Kubiarkan Sang Waktu merenggut sejenak kepenatannya dan menunggunya melanjutkan kisahnya.

“Tapi biarlah, apapun penilaian orang terhadap hidup aku, aku anggap itu sebagai ujian, karena orang hidup pasti pengin lebih baik bukan, lebih mampu, juga lebih mapan.” lanjutnya.

“Kalian tinggal dimana waktu itu?”

“Dengan suami pertama aku tinggal di Bandung.” Tania tersenyum. Kali ini senyumnya lepas.

“Sampai sekarang, satu hal yang ngga bisa aku lupa, dia selalu bilang, kalau kamu nangis, berarti masalah kamu udah berat.” lanjutnya.

“Ada lagi satu hal yang tak pernah kulupa, suamiku itu senang dugem. Kadang ke diskotik, kadang ke pub. Mungkin ini yang kurang kusuka, tapi it’s ok, toh untuk itupun aku diajak.”

Malam masih terlalu pagi untuk kami saling berbagi. Namun sungguhlah adil kiranya jika Sang Waktu memberi kami jeda untuk dilanjutkan dilain kesempatan. Tania pun tersenyum, yang termanis yang kulihat dipenghujung hari ini.