Kado Terindah

DIARY SHERLY : MY LOVELY CAPPUCCINO #5

Benar kata orang, bahwa hidup ini adalah sebuah misteri. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tapi bagi seorang Dika, misteri adalah hidup itu sendiri. Kita bisa bebas menggariskan nasib hidup kita sendiri, walau terkadang takdir berkata lain.

Sudahlah. Itu hanya masalah diksi. Tak perlu diperdebatkan lebih lanjut. Biarkan setiap orang memaknai hidup sesuai keinginan masing-masing, kehendak masing-masing, juga kehendak Dika, yang beberapa hari terakhir ini sosoknya berputar-putar memenuhi isi kepalaku.

Kalau diruntut lagi, ada saja tingkah kelakuannya, baik lewat ponsel, tak jarang dan tak sungkan terkadang ketika sedang bersua. Terkadang haru mendengar dongeng ceritanya, terkadang sampai lepas tawa ini dibuatnya. Sepertinya, hidup Dika dihiasinya sendiri dengan aneka lampu kehidupan yang berwarna-warni, yang selalu siap menyala, menerangi siapa saja yang ada di sekitarnya. Penuh pukau dan tak jarang pula membuat benak ini merona.

Koq ada ya, manusia seperti Dika… Ajaib…

Kalau dihitung-hitung lagi, hari ini barulah hari kedelapan aku mengenal lelaki ajaib bernama Dika. Tapi rasa-rasanya seperti sudah delapan bulan kami saling mengenal, delapan tahun bahkan. Akankah ada kejutan lagi di hari ini?

Aku lebih memilih untuk berdiam diri, menanti dan menikmati setiap guliran detik yang terjadi dan terlewati. Ironi dari hari ini, belum juga sampai tengah hari, benakku seperti diaduk-aduk. Tak ada kabar, tak ada pesan pendek, apalagi dering telepon sekedar untuk mendengar suaranya.

Ada apa dengan Dika hari ini?

Semakin siang semakin terasa sepi benak ini. Ponselku masih di atas meja. Tak ada suara derit maupun getar seperti biasanya akhir-akhir ini. Sunyi. Entah kenapa tiba-tiba detak jantung ini seperti terdengar sampai ke gendang telingaku, hentakannya melebihi detak suara jam dinding di ruang praktekku. Ah, kenapa tiba-tiba merasa… rindu?!

Ingin rasanya segera menghubunginya, namun tadi pagi aku sudah berjanji untuk menahan diri. Kena batunya sekarang aku. Lamunanku sedikit memudar oleh suara Tasya yang sudah berdiri di ambang pintu.

“Hayooo… ngelamunin siapa?!” “Apaan sih, Tas?!”
“Mau ikut makan siang kaga, udah waktunya nih…”
“Ok, bentar… nanti kususul…”

Bukannya beres-beres dan segera menyusul Tasya, namun justru telepon selulerku yang menggerakkan benakku, sekedar untuk melihat pesan masuk. Itupun kalau ada. Ternyata sama sekali tidak ada.

Akhirnya kubuka juga pesan terakhir dari Dika semalam. Lalu kubaca dan kubaca lagi percakapan kami semalam. Tanpa kusadari, sesekali aku bisa tertawa sendiri, tersenyum, lalu tertawa lagi. Sesekali lepas sampai terbahak, lalu tersenyum lagi.

“Ah… sudahlah, nanti juga pasti telpon. Eh, ini kan hari Jumat, Dika libur dong… koq, nggak ada kabar sama sekali. Atau kutelpon aja ya? Telpon… kaga… telpon… kaga… telpon aja ah…” gumamku.

Belum juga jemari ini selesai membuka nomornya, daun pintu diketuk dari luar. Hanya ketukan. Tanpa suara, tanpa sapaan. Kumasukkan telepon selulerku, baru kusapa.

“Ya… masuk aja…”
“Bu Dokternya ada?” suara di balik pintu yang kudengar.
“Ya… silahkan masuk.” lanjutku mengulangi.

Tak ada seorangpun yang muncul. Aku hendak segera berdiri tepat ketika seorang lelaki berambut sebahu muncul dari balik pintu.

“Dika jeleeek!” bentakku seraya berdiri menghampirinya.
“Permisi… mau cabut gigi apakah masih bisa?” selorohnya tanpa dosa. “Oh, maaf banget… dokternya lagi sakit…” sahutku membalas candaannya sambil menahan tawa. “Ohh… jadi dokter bisa sakit juga ya?!”
“Iya… sakit hati nih… seharian ngga ditelpon!”
“Hihihi… kangen ya?”
“Iya… tadi udah mau nyerah… mau menelpon kamu… eh, malah udah nyampe sini…”
“Sesekali ngasih kejutan, biar Bu Dokter nggak stress…”
“Hihi… iya, lima menit lagi udah meleduk kepala ini…”
“Kompor kali… meleduk…” “Hahahaha…”

Kegalauan siangku segera sirna. Selalu tentang Dika adalah kejutan demi kejutan, yang menjadikan hari menjadi terasa lebih ringan, lebih sederhana, lebih berwarna.

“Udah ah, keluar yuk, makan siang. Sherly yang traktir deh kali ini.” “Makasih, Sher. Nih, sudah kubawakan makan siang spesial dari Bogor. Karedok pedesnya sedang, lomboknya lima setengah tadi… hehe…”
“Hihihi… koq ada setengahnya, Dik?” “Biar bener-bener terasa sedang aja pedesnya. Kalau utuh kan pedes banget, jadilah tak pesenin pakai setengah, biar sedang pedesnya.” “Hahahaha… Bisa aja… yuk…” “Kemana? Pelaminan?!”
“Mau atuh….”
“Hihihi… mau makan dimana kita? di KUA? Lagi pada sholat Jumat ini penghulunya!”
“Udah ah, yuk, numpang makan di kantin nggak apa-apa. Banyak koq, yang bawa bekal dari rumah terus pada makan rame-rame di kantin.” “Beneran nggak apa-apa? Nanti kalau pada berebut gimana? Kan sayang, Sher?”
“Iya… Sherly juga sayang ama Dika… hehehehe…”
“Beneran, ini sangat spesial buat kamu lho… Nanti kalau pada berebut gimana?!”
“Lihat aja kalau sampai pada berani…”
“Kalau aku yang diperebutkan gimana?!”
“Oh, kalau itu mah… panjang urusannya… ayo… siapa berani, maju sini…”
“Galak banget kamu, Sher, meledak-ledak kayak Molotov. Jaga dikit emosimu kenapa, minimal sampai…”
“Sampai apa?!”
“Sampai foto kita bersanding di buku nikah….”
“Jeleeek… jeleeek… Dika jeleeek…” kutimpuk Dika.
“Aduh… Aduuh… Aduuuh… udah, Sher… sakit…”
“Hihihi… makanya… nurut aja…”
“Iya deh, ini kan daerah kekuasaanmu ya?”
“Bukan gitu, anggep aja penebusan atas kesalahanmu…”
“Salahku?!”
“Iya… salah Dika! Kesalahan Dika hari ini!”
“Salahku apa, Sher?”
“Kesalahan Dika cuma atu hari ini… tapi fatal…”
“Apaan?” “Dika salah besar hari ini karena…”
“Karena apaan sih?”
“Karena sengaja tidak menghubungi Sherly seharian ini dan justru ngasih kejutan siang ini… hehe…”
“Ini ceritanya, saya lagi digombalin, Sher?! Lagi dong??”
“Hehehe… udah ah… yuk… makasih buat kejutan makan siangnya yah…” “Sama-sama… kita jadi nih… ke KUA sekarang?!”
“Sssttt… jangan teriak-teriak… tar abis makan kita langsung ke penghulu aja deh… yuk…”
“Nah, gitu dong… kan jadi semangat… makan siangnya…hehe…”

Belum juga kedua kaki ini melangkah keluar, aku teringat dengan hadiah yang sudah kusiapkan buat Dika semalam.

“Eh, bentar-bentar, Dik… Sherly punya sesuatu buat Dika… traalaaa…” “Apaan ini, Sher?”
“Udah buka aja…”
“Bukan bom kan?! Koq ada suaranya?!”
“Sssttt… isinya bom cinta, biar yang menerima tambah sayang… hehe…” “Ada-ada saja kamu, Sher… untung ini di teritorimu… kalau nggak…”
“Kalau nggak apa?!”
“Kalau nggak… udah kupeluk abis-abisan kamu…”
“MAUUU…”
“Nggak jadi aja ahh… besok aja… ke pelaminan dulu!”
“Yakin, nggak jadi sekarang… ngadep penghulunya?”
“Oh… iya… ya…”
“Kena kan?! Hehehe…”
“Udah yuk… buka aja sambil jalan.”

Selalu tentang Dika seolah tak akan pernah habis ceritanya. Belum juga sampai sepuluh menit bersua, semua galau semua cemas langsung sirna. Terima kasih, Dika, atas setiap detik yang penuh warna bersamamu. Terima kasih untuk semuanya.

“Makasih ya, Sher, buat hadiahnya… Tapi kenapa jam weker?!”
“Iya, biar bisa membangunkanmu tiap jam delapan malam. Jadi ponselmu nggak perlu dimatiin kan? Hehehe…”
“Modus kamu, Sher…”
“Biarin!!! Emang enak, selalu disuruh nunggu sampai jam delapan?!” “Hihi… iya deh… makasih ya…” “Sama-sama, Dika, beneran nggak peluk Sherly nih?!”
“Hushh… besok abis dari KUA!” “Hihihi… iya deh…”

Ingin rasanya berlama-lamaan dengan Dika seorang siang itu. Namun waktu jua yang membatasi kami. Ah, kenapa mesti ada rentang jarak dan waktu? Sekali-sekali harus kupangkas sendiri rentang penghalang ini. Harus ada tekad untuk mengubah hari ini, agar menjadi lebih memiliki arti.

“Dik, besok kan hari Sabtu, Sherly libur, Dika banyak kiriman kaga?” “Kenapa? Mau ikut lagi?”
“Boleh… kalau Dika nggak keberatan?”
“Besok hari Sabtu ya?”
“Emang kenapa kalau hari Sabtu?” “Aduh… kenapa juga sampai lupa hari… ingetnya Sherly mulu…” “Hihi… emang kenapa kalo gari Sabtu?”
“Jalur ke Puncak-Cipanas kan diberlakukan satu jalur kalau hari Sabtu dan Minggu. Hari Sabtu satu arah menuju Puncak, hari Minggu kebalikannya.”
“Kirim ke Puncak?!”
“Cipanas, Sher… tapi melewati Puncak juga sih…”
“Wah, asyik tuh… Sherly belum pernah ke Puncak…”
“Udah bosen… tiap senin lewat jalur Puncak-Cipanas!”
“Mau dong, Dik… Sherly ikuuut…” “Bukan itu masalahnya, Sherly. Besok itu hari Sabtu, kalaupun bisa naik, nggak bisa turun, jam 12 siang udah diberlakukan satu arah dari Gadog sampai Puncak Pass.”
“Oh, gitu… terus gimana? Please… ikut dong, Dik… sekaliii aja… tar Dika mau peluk-peluk ato cium-cium Sherly bebas deh… “
“Hihihi… norak kamu, Sher!”
“Ayolah, Dik… please…”
“Apaan sih… sebentar, atur strategi dulu, biar bisa dapat semuanya!”

Dika tampak serius memikirkan sesuatu. Benakku berharap sungguh, lelaki ajaib di depanku ini akan mengabulkan permintaanku. Sampai tiba-tiba muncul ide gila dari benakku,

“Atau… gimana kalau kita berangkat hari ini aja? Terus besok pagi sebelum jam 12 baru pulang. Nggak kena pemberlakuan satu jalur kan?” “Tumben idemu cemerlang, Non!” “Hehe… siapa dulu?!”
“Masalahnya, hari ini mobil lagi muat barang di Bekasi. Kelamaan kalau mesti nunggu mobil pulang dari Bekasi.”
“Traalaaa… nih, solusinya… pake mobil Sherly aja.”
“Semangat banget kamu, Sher?!”
“Iya dong… mau kan?!”
“Bentar ya, biar kulihat dulu orderannya. Kira-kira muat nggak kalau pakai mobilmu.”
“Ayolah, Dik… dimuat-muatin deh… Dika mesti bisa mengaturnya…” “Yee… sabar dikit kenapa sih?”
“Ya udah, jadi nggak jadi, kita pulang sekarang. Soal kiriman, pikir nanti aja. Sherly ijin dulu sekalian ambil tas. yuuk…”

Setelah membereskan segala sesuatunya, mobil langsung meluncur menuju Puncak. Lagi-lagi aku tak mau memikirkan segala sesuatunya. Ada rasa aman ketika berada di samping Dika. Segala sesuatunya begitu nyaman. Canda, tawa, serius, lalu tertawa lagi, terkadang haru, rasanya betul-betul ingin memeluknya, tapi sesaat kemudian langsung tertawa lagi.

Ajaib sekali rasanya kami dapat bersuka seperti saat ini. Terkadang aku sampai lupa, Dika itu siapa. Teman?! Dika lebih dari sekedar teman yang nyaman untuk diajak bicara. Pacar?! Tak pernah sekalipun Dika menyebut kata sayang maupun suka. Lalu siapakah Dika yang telah sanggup membolak-balik maupun mengaduk-aduk benakku?! Dika adalah Dika, lelaki Penjual Air Mineral yang baru kukenal baik selama delapan hari ini, yang selalu menemaniku, mewarnai hari-hariku dan menjadikan segala yang kulihat indah adanya.

“Ini namanya pertigaan Gadog. Dari sini kita tinggal lurus saja ke atas, kalau ke kanan nanti sampai Sukabumi… hihihihi…” terangnya ketika kami keluar dari jalur tol. “Masih jauh?” tanyaku.
“Ow… masih jauh sekali. Belum juga sampai Mega Mendung, Cisarua, trus tanjakan dan kelokan sepanjang perkebunan teh. Capek ya atau mengantuk?!”
“Hihi… gimana mau tidur kalo dibuat ketawa mulu sejak tadi?!” protesku dalam suka.
“Ya udah, nikmati aja perjalanannya. Anggap aja aku pemandu wisatamu yah… Di sebelah kanan itu Warung Sederhana, setelah itu Kios Cahaya, trus Rumah Makan Cahaya Minang…” “Koq, Dika tahu semua?” potongku. “Hihi… gimana nggak tahu orang tiap senin juga lewat sini…” jelasnya.
“Oh, iya ya…”
“Nah, kalau yang di sebelah kiri itu Dapur Sunda, trus abis itu nanti Mang Engking, nah, kalau yang di sebelah kanan itu namanya supermarket…” “Yee… kalo itu Sherly juga tahu.” “Hahaha… biar Sherly ikut bicara aja, ngga nganga aja sejak tadi…”
“Ih, Dika jelek!!!” potongku sambil menimpuk lengannya.

Untuk sepersekian detik waktu suasana sempat hening. Tak ada suara yang keluar dari masing-masing mulut kami.

“Dik, kenapa kamu memutuskan untuk alih profesi jadi sales? Bukannya lebih enak jadi guru?” tanyaku serius.

Sambil tersenyum, dijelaskannya panjang lebar perihal latar belakang keputusannya untuk meninggalkan dunia pengajaran yang pernah dijalaninya.

Bukan sebuah keputusan yang mudah rupanya, namun bermodal tekad yang kuat, Dika berani memasuki dunia baru yang sangat-sangat jauh dari dunia lamanya dan menjadi merdeka serta damai. Rupanya pula, kedamaian itu pulalah yang senantiasa dibagikan kepada siapapun yang dijumpainya. Kedamaian diri itulah energi positif yang menjadikan Dika sosok ajaib yang selalu dapat berbagi kasih seperti saat ini. Haru tapi keren.

“Sher, semua yang kutulis dan kamu baca itu adalah refleksi laju perjalanan hidupku selama ini. Terlalu banyak siangku yang hilang kubuang percuma. Sekaranglah saatnya untuk menebus sekian petang-sekian malam yang dulu lebih sering kulalui dalam gerutu sesalku.” “Tapi koq, bagian sebelum jadi guru tidak ada?”
“Ada, tapi masih kusimpan di rumah, di Kampung Negeri Castle-ku. Sampai sekarang sekalipun aku tak sanggup mendefinisikannya, apakah itu bagian terburuk atau justru yang terindah dalam hidupku.”
“Maksudmu?”
“Sudahlah, kamu tidak akan bisa memahaminya untuk saat ini. Bagian itu lain kali aja yah?”
“Masih banyak waktu, Dika. Boleh kan, Sherly mengenal Dika yang dahulu? Yang menjadikan Dika seperti saat ini?”
“Sampai saat ini sekalipun, sejauh mana Sherly sudah mengenalku? Memahamiku? Tak banyak kan?” “Iya… Dika curang!”
“Hihi… nggak adil ya?!”
“Iya… mungkin itu yang membuat Sherly selalu merasa ajaib saat bersama Dika.”
“Biarlah waktu yang berbicara, Sher. Sekarang, tugas utamaku adalah membuat seorang Sherly Putri Titiani merasa bahagia… dah… itu aja… boleh kan?!”
“Tuh… kan…”
“Kenapa?! Nggak boleh?!”
“Sherly jadi terbang kan…”
“Hihi… awas, kalau sampai jatuh, rasanya sakit lho…”
“Biarin… kalau sampai jatuh, Sherly yakin, Dika pasti akan menangkapku…”

Hening. Lagi-lagi tak satupun dari kami bersuara.

“Salut buat kamu, Dik. Hampir semua orang di negeri ini ingin sukses di Ibukota. Tapi kamu lebih memilih untuk menaklukkan Jakarta dengan caramu sendiri… Keren…”
“Makasih, Sher, tujuanku sederhana saja. Aku tak ingin lebih banyak lagi orang daerah yang punya mimpi selangit untuk merantau ke Ibukota. Tanpa berada di Jakarta sekalipun, kita bisa sukses, setidaknya berhasil menjadi pribadi yang mandiri dan tidak terlalu tergantung dengan Ibukota.”
“Betul juga ya… kalau semua orang berniat untuk hidup di kota, lantas siapa yang mau tinggal di desa?” “Perjalanan masih panjang, Sher. Suatu hari nanti, ketika aku sudah berhasil mengepung Ibukota dengan air mineral, tak perlu lagi kan aku hidup dari nafkah Ibukota? Aku ingin panji-panji air mineralku terlihat di sekeliling Jakarta, sekaligus untuk menunjukkan kepada sales-sales yang begitu bangga mengerat di Ibukota, bangga dengan kesuksesan mereka di Jakarta. Ingin kubuktikan, bahwa tanpa menginjakkan kedua kakiku sekalipun di Tanah Batavia, aku juga bisa berhasil. Ingin kutunjukkan kepada Bapak, Bapakku seorang, bahwa tanpa menjadi pendidik sekalipun, aku bisa berhasil menjadi seseorang yang mandiri, merdeka dan bergelimang cinta…”
“MAUUU…” rengekku memotong runtut paparannya.
“Mau apaan?!” kejutnya.
“Sherly mauuu… jadi bagian yang terakhir tadi…”
“Hihi… iya… untuk bagian yang terakhir tadi, aku masih perlu belajar banyak, Sher…”
“Kita bisa sama-sama belajar, Dika…” “Sher, aku masih harus membuktikan kalau Sherly betul-betul bisa nyaman, saling percaya, lalu tertawa penuh suka dan bahagia seutuhnya…” “Udahan dulu ya, Dik… Sherly ngga kuat lagi… biar melayang-layang dulu yah… takut jatuh…”
“Yee… salah sendiri… kan sudah pernah kubilang kalau ‘yang lain’ akan membuatmu ‘terbang’…” “Hihihi… iya… Sherly masih inget koq…dan betul… rasanya… melayang…”

Hening…

“Dik… masih jauhkah?”
“Kenapa? Capek? Mau istirahat dulu?” “Sherly pengin segera turun terus memeluk Dika…”
“Norak kamu, Sher… malu tahu… kasian para pembaca senyam-senyum sendiri tar…”
“Biarin!!!”

-oOo-

Lelap tidurku dikejutkan oleh suara pintu mobil yang ditutup. Sempat kutengok kesana-kemari. Gelap. Rupanya mobil sudah berhenti sedari tadi. Kardus-kardus sudah diturunkan semua. Lalu Dika muncul dari dalam ruko sambil membawa bingkisan yang dimasukkan ke dalam tas plastik hitam. Aku hanya bisa tersenyum saat pintu kembali dibuka.

“Eh, Bidadariku sudah bangun…” tuturnya.
“Lama ya tidurku? Sampai ngga tahu kalau udah sampai. Loh, kardus-kardusnya? Itu tadi… Dika turunin sendiri? Maaf ya, ngga bantuin tadi…”
“Nggak apa-apa… sudah biasa. Maaf kalau mengejutkan mimpi indahmu ya, padahal sudah pelan-pelan tadi waktu membuka pintunya. Hehe…” “Itu bawa apaan, Dik?”
“Kue moci, mau? Dikasih oleh-oleh sama Teh Melly barusan.”
“Oh… tar aja deh. Langsung cabut nih? Udah selesai semua kan?” “Yuuup, takutnya kabut keburu turun, nanti istirahatnya sekalian di Kedainya Mang Yayan aja ya, ada gardu pandang di lantai atasnya.”

Jelang tengah malam, perjalanan telah kembali sampai di Puncak Pass. Setelah menuruni beberapa kelokan, mobil ditepikan. Di luar, udara cukup dingin hingga membuat tubuh menggigil. Beruntung kabut perlahan mulai sirna. Kerlap-kerlip lampu di bawah jadi terlihat cukup jelas.

“Dika… Sherly kedinginan…”
“Yee… salah sendiri, tadi disuruh bawa jaket tebal nggak percaya.” “Terus gimana ini, Dik… tukeran jaket dong…”
“Ogah… tar kalau aku jadi menggigil kedinginan, terus sakit, siapa yang mau jagain kamu?”
“Yaa… Dika… masak tega sih…” “Hihihi… udah Sherly jalan-jalan ke bawah aja bentar, biar darahmu ngalir dan jadi anget, ama tolong pesenin kopi dong… ini kaki biar lurus sebentar.”
“Bilang aja minta kopi! Pake ceramah segala…”
“Hihihi… sekalian tolong ambilkan bingkisan yang dari Teh Melly tadi ya?”
“Iya… bingkisan ama apalagi? Cappuccino kan?!”
“Hehe… iya… makasih ya…”

Belum juga sepuluh menit kutinggalkan memesan kopi, Dika telah terlelap dalam tidurnya. Kecapekan. Seharian ini tidak istirahat. Kubiarkan sesekali dengkurnya menghiasi malam. Ingin rasanya melepas kuncir rambut yang kelihatannya mengganggu posisi kepalanya, namun takut malah membangunkannya. Akhirnya kubiarkan dan kusibukkan diriku membuka laptop sambil meneruskan membaca tulisan-tulisannya.

Keheningan terpecah oleh suara sirene dari serombongan moge yang meraung-raung melewati tempat istirahat kami. Dika terkejut dan segera terbangun.

“Udah lama ya aku ketiduran… koq, nggak dibangunin?”
“Yee… pules kayak baby juga… mana mendengkur lagi… cappuccinomu ampe dingin tuh…”
“Hehe… makasih ya… sorry, kurang tidur sejak kemarin malam… soalnya takut…”
“Takut apaan?!”
“Takut kalau sampai bola mata ini terpejam, yang muncul adalah bayang-bayang senyummu…”
“Dika jelek…” timpukku sekenanya. “E-eh… aduuh… beneran… kalo sampai terpejam, mimpiku cuma kamu seorang!”
“Jelek… jeleek… jeleeek… apaan sih… baru juga buka mata… udah mulai…” protesku.
“Hihihi… tapi seneng kan? Diterbangkan terus-terusan?” “Lama-lama melayang beneran nih…” “Hihi… lho, itu bingkisannya… koq, ngga dibuka?”
“Yee… tadi cuma disuruh mengambilkan… nggak disuruh membuka juga… baru berapa menit Sherly tinggal, udah langsung tertidur tadi…”
“Hihi… iya ya, maaf deh, ya udah sini Sher, kita buka bareng-bareng… kasihan banget Bidadariku sampai membeku kayak gini…”
“Emang isinya apaan? Kue moci?” “Traalaaaa…”
“Apaan ini, Dik? Sweater?!”
“Selamat ulang tahun, Sherly Putri Titiani…”

Jantungku serasa berhenti berdetak. Mulutku begitu kelu, tak sanggup mengucap barang sepatah kata. Aku betul-betul ternganga dengan kejutan kado ulang tahun dari Dika. Bagaimana Dika bisa tahu hari ulang tahunku sedang aku sendiri sampai lupa saat itu? Ajaib…

“Ini… udah tanggal sembilan ya… oh iya, Sherly sampai lupa kalo berulang tahun hari ini… Dik, kamu… ajaib… koq Dika bisa tahu kalo hari ini Sherly berulang tahun?”
“Hihi… malah nganga… udah langsung dipakai aja sweaternya, biar nggak kedinginan lagi.”
“Ajaib… Dika… kamu…”
“Terharu ya… Besok bilang makasih sama Tasya… Berkat info darinya, aku jadi tahu kalau hari ini Sherly berulang tahun… hehe…”
“Kapan Dika bungkusnya? Perasaan kemarin tidak ada?”
“Tadi waktu kamu pules, minta tolong Teh Melly untuk bungkusin, itung-itung bantu ngelarisin dagangannya. Katanya sih cocok kalo mau dipake di Puncak, anget, tapi ngga panas kalo siang. Katanya juga, cocok buat orang yang spesial… hehe… Nah, terus, karena yang pake kamu, berarti kamu yang spesial buat Teh Melly… hahahahaha…”
“Bisa aja kamu, Dik… Anyway, makasih ya, Dik…” sesegukan benakku.
“Sama-sama… udah, jangan nangis… sini kupeluk… tapi bentar aja yah…” “Dika, Sherly nggak kuat… boleh nangis ya, sekaliii aja.”
“He em… sini… nangis di pelukanku…”

Dada ini rasanya betul-betul mau meledak. Mulutku seperti membatu. Entah bagaimana lagi menggambarkannya sampai-sampai air mataku berlinang. Ada haru menyelimuti kalbuku. Seumur-umur aku belum pernah mendapat kejutan seperti ini. Ajaib…

“Udah… udah… kan tadi aku udah bilang… tugas utamaku sekarang adalah bahagiain Sherly… sempurna kan untuk malam ini?”
“Dik, jangan dilepas… Sherly masih belum kuat… Sesek banget dada ini rasanya… Sekali lagi makasih buat semuanya ya, Dik.”

Dika menganggukkan kepala sambil tersenyum. Benakku membiru. Terkejut, bahagia, haru, semua bercampur menjadi satu hingga mulutku sekalipun tak sanggup mengucap barang sepatah kata sekalipun untuk sekian detik waktu.

“Dik… Sherly sayang Dika…”
“Iya… iya… aku tahu koq…”
“Maaf ya, Dik… kalo Sherly bilang gitu… dada ini mau meledak rasanya… Sherly ngga kuat… Jangan dilepas dulu pelukannya ya, Sayang…” “Khusus malam ini, Sherly bebas minta apapun, bebas mau apapun, biar makin sempurna bahagiamu malam ini…”
“Makasih ya, Sayang… Sherly ngga minta apa-apa… semua yang telah Dika lakukan buat Sherly selama ini udah lebih dari cukup…”
“Eh, kamu tahu nggak, Sher?! Seseorang itu terkadang meneteskan air mata bukan karena lemah, tapi karena tak menemukan diksi kata-kata yang tepat sekedar untuk menggambarkan perasaannya. Seperti Sherly saat ini…”
“Iya… Sherly bingung harus bilang apa… Sekali lagi makasih banget buat semuanya ya, Dik. Ini adalah kado terindah dalam hidup Sherly. Belum pernah sekalipun dalam hidup, Sherly merasa seperti ini, diperhatikan, dimengerti, disayang, dimanja, diterbangkan… ah, Dika… Dika adalah kado terindah buat Sherly… Makasih ya, Sayang…”
“Iya… lihat tuh, bintang-bintang saja sampai pada minder… lihat kamu peluk aku erat banget…”
“Biarin!!!”

…Dan kalaupun bintang-bintang di angkasa sampai bersembunyi malam ini, mungkin benar kata Dika, mereka minder melihat kami berpelukan…

Tinggalkan komentar