Kota Lama

DIARY SHERLY : MY LOVELY CAPPUCCINO #16

Kedua bola mataku masih belum seutuhnya terbuka. Kusadari saat itu, mimpi indahku bersama Dika benar-benar terputus. Rasa-rasanya masih begitu enggan untuk segera turun. Kulihat sekelilingku sekali lagi. Mobil berhenti di depan sebuah rumah makan.

Untuk sejenak waktu, kulihat Dika masih membuka ponselnya, membaca beberapa pesan yang masuk lalu menghubungi beberapa salesnya untuk mengirim beberapa orderan. Berikutnya Dika tersenyum menatapku. Kubalas dengan senyuman.

“Eh, kenapa Bidadariku senyam-senyum genit kayak gitu?” tanya Dika.
“Jadi buyar kan mimpi Sherly…” protesku.
“Mimpi apaan?” lanjutnya.
“Mimpi lagi ama Dika…”
“Ih… mimpi jorok ya?!”
“Apaan sih?!”
“Mimpi apaan? Lagi ngapain ama Dika?”
“Hihi… cuma mimpi, Sayang…”
“Ada-ada aja…”
“Dik… peluk Sherly dong…” pintaku masih antara sadar dan tidak diantara alam mimpi dan nyata.
“Hey… bangun dulu, buka mata dulu, trus kita makan.”
“Dik… cium dong…”
“Hushhh…”
“Dika sih… buyarin mimpi Sherly aja… peluk Sherly dulu dong… bentaaar aja…”
“Hihi… kebanyakan micin ya tadi? Udah yuk turun…”

Dika masih menungguku, kemudian keluar terlebih dahulu dan membukakan pintu mobil untukku. Rambut panjangnya tergerai tertiup angin. Dika tersenyum.

“Silahkan turun… Putri Titiani-ku Terkasih…”
“Makasih ya, Sayang…”
“Iya… makan dulu yuk…”
“Peluk dulu, bentaaar aja, cium juga boleh.” rengekku.
“Iya… iya… iya… nanti…”
“Dik… gendong aja…” rengekku tak mau menyerah.

Akhirnya Dika menyerah, kemudian segera memeluk dan mencium keningku.

“Pipinya belum dicium!” pintaku, Dika menuruti.
“Atunya belum…” pintaku lagi. Dika kembali menuruti keinginanku.
“Makasih Dika, Sayang… I love you…” lanjutku.
“Ditto…” Dika mengecup keningku.
“Udah yuk… silahkan turun, Tuan Putri… kita makan dulu ya… udah diprotes ama perutku nih…” sambungnya.

Masih butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa aku sudah tidak di alam mimpi lagi. Dika tersenyum kemudian menggenggam jemariku ketika kuturunkan kakiku. Dika membiarkan jemarinya kugenggam erat sambil berjalan. Baru beberapa langkah ke depan, Dika berhenti.

“Kenapa, Sayang?!” tanyaku.
“Sherly… takut jatuh ya?” balasnya.
“Kenapa?!”
“Nih… erat banget genggam tanganku… hihi…” sahut Dika sambil mengangkat genggaman jemari kami.
“Hihi… udah keburu jatuh…”
“Jatuh dimana?”
“Jatuh di hati Dika!”
“Hihi… mau gimana ya…”
“Tangkap dong, Sayang…”
“Iya… iya… yuk…”

Setelah menyegarkan diri dan makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Beruntung jalanan tidak begitu padat sehingga perjalanan menjadi lancar. Dika telah memperkirakan dan memperhitungkan waktu serta kondisi jalanan dengan sempurna hingga perjalanan tak menemui banyak hambatan.

“Ini kita sampai mana, Dik?” tanyaku selepas mobil bergerak dari rumah makan tadi.
“Bentar lagi udah Cirebon, udah separo perjalanan. Kalau tak ada halangan, sebelum petang kita sudah sampai Kota Lama nanti.” jelas Dika.
“Dika ngga mau gentian? Ngga capek, Sayang?”
“Perjalanan masih lumayan panjang, Sherly istirahat aja.”
“Cerita lagi dong, Dik…”
“Pengin diceritain apalagi?”
“Terserah Dika… “

Lelaki ajaibku tampak berpikir untuk sekian detik waktu sampai akhirnya angkat bicara.

“Menurut Sherly, keinginanku untuk menaklukkan Jakarta itu ketinggian kaga?”
“Dika, tidak ada yang salah dengan cita-citamu itu. Sherly salut malahan. Ketika orang-orang pada umumnya lebih memilih untuk hidup di Ibukota, Dika malah ingin mengepung Jakarta. Tidak ada yang mustahil dengan satu keinginan besar dan mungkin untuk diwujudkan tersebut. Sherly yakin, Dika akan mampu. Seperti Dika bilang, semua hanya masalah waktu kan, Sayang?”
“Iya… sebetulnya, dengan menguasai pasar Jawa Barat sekalipun, keinginanku tersebut sudah tercapai. Aku tak harus merangsek hingga pinggiran Ibukota.”
“Betul itu… dan ada satu hal yang harus Dika ingat, dengan sukses tanpa masuk pasar Jakarta, itu artinya Dika telah berhasil mengangkangi Ibukota, ya kan? Artinya lagi, tanpa hidup di Jakarta sekalipun, Dika tetap mampu menjadi pribadi yang Dika inginkan.”
“Aku cuma ingin agar orang-orang tak berebut atau minimal berpikiran bahwa kalau mau sukses harus ke Ibukota. Itu aja alasan yang sesungguhnya.”
“Setuju, setiap orang bisa sukses tanpa harus ke Jakarta. Menurut Sherly, orang yang sukses di Jakarta itu udah biasa, tidak istimewa, tapi kalo sukses di daerah, itu baru keren…”
“Seperti cita-citaku ya, Sher?”
“Seperti yang punya cita-cita… hihihi…”

Dika tak bergeming sedikitpun, senyum sekalipun tidak. Benaknya dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran yang terkadang tak sanggup kujangkau.

“Dika… jangan tegang gitu dong, Sayang…”
“Hehe… nggak koq… cuma kepikiran aja tadi…”
“Dika mikirin apalagi?”
“Kelak jika sudah bisa produksi sendiri, mungkin Dika akan sering ke luar kota. Menggarap pasar demi pasar sepanjang Cirebon sini hingga ujung Carita sana. Dari ujung timur hingga ujung barat. Dari utara sampai selatan.”
“Baguslah itu…”
“Itu artinya, Dika akan sering berada di luar, mungkin beberapa hari baru pulang. Itu artinya lagi, kita akan jarang bertemu.”

Kalimat Dika yang terakhir sungguh mengusik benakku. Aku jadi turut berpikir, kira-kira apakah aku akan sanggup jauh-jauhan dengan Dika, sedang mau ditinggal mudik beberapa hari ini saja aku tak sanggup.

Seegois inikah diriku, sampai-sampai tak ingin Dika berjauhan denganku? Jika aku tak sanggup berjauhan dan Dika tahu, mungkin Dika akan mengurungkan niatnya, itu artinya, aku turut menghambat cita-citanya.

“Koq malah diem? Dika salah omong ya tadi? Maaf ya… kalau ada yang salah…”
“Tidak Dika… justru Sherly yang salah.”
“Maksudnya?”
“Dik, tidak ada yang salah dengan kalimat Dika tadi, dengan cita-cita Dika, Sherly akan senantiasa mendukung Dika.”
“Makasih ya, Sher…”
“Dika yakin ngga mau gentian?” kucoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Hihihi… kaga usah dialihkan gitu topiknya, Dika tahu koq, apa yang Sherly pikirin.”
“Apaan?”
“Sherly takut kita jadi jauh-jauhan kan?”
“Koq bisa tau, Dik?! Ajaib…”
“Abis ini Sherly mau omong apa juga Dika udah tau…”
“Apa coba?”
“Sherly pasti mau bilang, ‘Lakukan yang terbaik yang Dika inginkan’, iya kan?”
“Koq… bisa tau???! Ajaib…”
“Hihihi… udah ngga usah dibahas… Dika udah mikirin semuanya koq… bahkan abis ni Sherly mau bilang : ‘Dik, Sherly sayang Dika’ itu juga udah Dika terka… hehe…”
“Ajaib… koq bisa sih, Dik?!”
“Kan sehati… hihihi…”
“Tuh… kan… di mobil juga ngga capek-capeknya bikin terbang… Dik, Sherly boleh cium Dika, kaga?”
“Enggak… hehe…”
“Kenapa, Sayang?”
“Kalo sampai terbang, terus mobil jadi oleng gimana?”
“Hihihi… iya ya…”

Hening untuk sekian waktu. Dika tampak serius kini.

“Abis keluar dari batas Kota Cirebon ini Sherly tidur ya… biar bisa ngebut…” tutur Dika.
“Ngga mauuuu…” protesku.
“Hihi… Sherly mesti istirahat, simpen energi buat nanti… Dika ngga yakin bisa sendiri nanti…”
“Maksudnya?”
“Mungkin Dika ngga akan sanggup bahkan ketika kita memasuki Kota Lama nanti…”
“Kan ada Sherly di sini…”
“Iya, maksudnya, Dika sendiri nanti butuh energi ekstra untuk menghadapi semua yang telah Dika rencanakan ini.”
“Nanti kalo Dika pengin istirahat, tinggal bilang yah?”
“Bukan itu maksudku… Dika cuma ngga yakin aja, apa nanti akan sanggup menemui mantan murid-muridku, bernostalgi di tempat-tempat yang pernah memasung masa laluku, sekaligus tempat-tempat yang menjadi pijakan waktu dan hidupku untuk menjadi lebih baik. Dika tidak yakin dengan gejolak batin jiwa ini nanti.”
“Dika, jauh-jauh kita dari Depok, Dika harus mampu, harus sanggup, biar jadi lega. Sherly yakin Dika pasti bisa. Lagian kan Sherly temenin. Dika tenang aja. Sherly ngga akan ganggu nostalgi Dika deh, tar…”
“Makasih, Sher.”
“Sama-sama, Dika… Sherly pengin Dika juga bahagia… ngga cuma bahagiain Sherly mulu…”
“Hehe… iya…”

Dika terdiam untuk sekian detik waktu.

“Dik, boleh tanya kaga?”
“Boleh dong…”
“Janji kaga marah loh ya…”
“Iya…”

Kubutuhkan sekian detik waktu sekedar untuk menyusun satu pertanyaan yang kusadari sungguh hanya akan menjadi sebuah retorika.

“Ceritain tentang Hayu dong…”

Seperti dikejutkan oleh sengatan listrik, Dika sempat melepas pedal gas. Sontak mobil berjalan sedikit melambat. Detik berikutnya, seperti langsung tersadar, Dika kembali menambah kecepatan. Aku sendiri sempat terkejut.

“E-eh… Dik…” teriakku ketika mobil sedikit melambat.
“Maaf… maaf…” potong Dika.
“Maafin Sherly ya, Dik… Sherly cuma tanya tadi… jangan marah ya, Sayang?”

Dika tak bereaksi. Jangankan tawa khas milik Dika, tersenyum pun tidak. Aku betul-betul merasa bersalah sekali. Aku tak tahu harus berkata apalagi.

“Dika, maafin Sherly ya…” sesalku.
“Iya, Sherly… tapi maaf ya, untuk cerita bagian itu, jawabanku adalah tidak.”
“Ya udah kalo ngga mau cerita, Dika jangan marah ya?”
“Heem… ngga marah koq, tapi cerita yang lain aja yah?” kali ini Dika tersenyum.
“Sekali lagi maafin Sherly ya, Dik…”
“Iya, Sherly ngga salah koq… Dika aja yang terkejut tadi… maaf ya, Sher…”
“He em… Sherly sayang Dika, jangan sedih ya, Sayang?”
“Iya…”

Untuk sejenak waktu, tak satupun dari kami berbicara. Aku tahu, Dika bersedih. Aku juga menyesal telah menanyakan satu hal tadi. Dika pernah mengatakan sekali perihal Hayu dan itu artinya Dika tidak akan mengulang sekedar untuk menjelaskan.

Sepanjang yang aku tahu, Dika telah mengubur satu momen bersama Hayu saat itu dan tidak akan menceritakan kepada siapapun. Baginya, masa itu telah usai. Sampai pada satu titik ini, seharusnya cukuplah buatku untuk tidak menanyakannya lagi.

Setahuku pula, Dika yang kukenal saat ini bukanlah Dika yang dulu, yang ada dalam tulisan-tulisan penuh elegi dan ironi mewakili perjalanan hidupnya.

“Sher… Sherly cemburu ya?”

Pertanyaan Dika sungguh mengejutkan diriku. Seolah Dika benar-benar bisa membaca isi otakku. Antara terkejut dan bingung mau menjawab apa, Dika sudah menjawab pertanyaan terakhirnya sekaligus mewakili jawabku. Ajaib.

“It’s ok kalo Sherly cemburu. Hanya saja kaga baik cemburu untuk sesuatu yang tak beralasan, bahkan untuk sesuatu yang tak lagi terjadi saat ini.”
“Iya, Dika… maafin Sherly ya, Sayang…”
“He em… Dika ngerti koq… Sherly jangan sedih gitu dong… kan Dika disini bersama Sherly sekarang. Dika ada buat Sherly kan saat ini.”
“I love you, Dika…” bisikku sambil spontan memeluk Dika saat tak kuasa lagi kudengar penjelasan-pernyataan Dika yang terakhir.

Dika tersenyum dan sempat mencium keningku.

“Dik, ceritain tentang Kota Lama, dong?”
“Panas. Keras. Egois. Tak bersahabat. Tanggung… hehe… susah ya membayangkannya? Dulu Kota Pelabuhan ini sangat tenar. Penghubung antara laut dan darat. Lewat pelabuhan tua di ujung utara Kota Lama inilah semua barang masuk dan keluar dari pulau ini. Terus ada juga stasiun tertua di daerah pelabuhan. Tapi sekarang udah ilang. Terendam rob. Dari tahun ke tahun airnya semakin meninggi atau tanahnya yang ambles, ngga tau, yang jelas udah ngga digunakan lagi.” jelas Dika.
“Terus arahnya ke mana?”
“Rel keretanya?”
“He em…”
“Dari pelabuhan nyambung sampai Negeri Castle-ku. Bahkan ada benteng logistik di sana. Jenius ya, Menir-Menir Holander itu merencanakan semuanya?”
“Sampai sekarang masih ada?”
“Masih lah… Bentengnya masih ada. Stasiun juga masih ada. Depo serta pemutar loko juga masih ada. Keren tuh…”
“Pemutar loko?”
“Kaga semua stasiun ada pemutar loko. Kalo sekarang kan modelnya langsir, maju trus pindah rel, trus mundur, trus sambungannya dibalik, bagian depan jadi belakang, belakang jadi depan.”
“Koq Dika bisa tau semua?”
“Hihi… jalankan kereta uap juga Dika bisa…”
“Masak?”
“Bapak yang ajari Dika waktu masih bocah dulu… hehe…”
“O iya… Bapak seorang masinis ya?”
“Tapi itu dulu. Sekarang semua kereta udah pake diesel, serba elektrik.”
“Keren yang pake uap kali… Klasik…”
“Hihi… tapi kaga efektif… Jaman udah berubah. Teknologi semakin maju. Mau jadi apa kalo negeri ini masih pake kereta uap?”
“Hahahaha… bener-bener… trus sekarang cuma dimuseumkan dong?”
“He em… yang udah lewat, saatnya dimuseumkan, disimpen aja, kayak masa lalu Dika dan Hayu… Dika simpen dalam Book of Dream milik Dika yang udah usang di rumah.”
“Dika… Sekali lagi maafin Sherly ya, Sayang… ngga ada maksud mengungkit masa lalu Dika tadi.”
“Iya… Dika tau. Sherly cuma tanya kan tadi? Suatu saat pasti Dika cerita. Tapi jangan sekarang yah?”
“He em… Makasih ya, Sayang… Sherly cinta Dika… selalu…”
“Cium Dika dulu dong… kalo emang sayang…”

Tanpa pikir panjang langsung kuciumi wajah Dika.

“E-eh… udah, Sherly… udahan… lagi nyetir ini…”
“Biarin…”
“Hihi…”

Untuk sesaat waktu kami kembali saling berdiam. Hanyut dalam permenungan masing-masing. Sampai akhirnya Dika angkat bicara.

“Makasih ya, Sher… buat semuanya. Dika ngga tau, kalo ngga ada Sherly, mungkin Dika ngga akan sanggup membayar hutang-hutang Dika di Kota Lama, di Negeri Castle Dika.”
“Iya, Dika Sayang. Sherly akan selalu ada buat Dika.”

Detik berikutnya, Dika menggenggam tanganku. Kucium jemari tangannya. Dika tersenyum.

“Koq, membayar hutang? Maksudnya?”
“Sebenarnya, sejak awal mula Dika ngajar, ngga ada keinginan sama sekali untuk jadi guru. Dika cuma pengin buktiin, kalo 130 sks yang pernah Dika tempuh waktu kuliah, mestinya udah cukup buat ngajar. Dika sadar, ngga mungkin Dika diangkat jadi guru tetap tanpa punya ijazah. Kalo mau, bisa aja Dika nyambi kuliah, tapi bukan itu tujuan Dika kerja di sana. Dika bener-bener cuma mau buktiin pada Bapak, tanpa pernah mengenakan toga sekalipun, Dika sebetulnya bisa jadi guru. Ironi dari waktu itu, semua prestasi dan yang Dika lakuin di institusi tersebut tetap aja dipandang sebelah mata. Ya udah. Pembuktian Dika cukup sampai di situ aja. Sampai Sakura dan murid generasi pertama yang pernah Dika ajar lulus saat itu. Dan benar saja, hasilnya memuaskan. Murid-murid nakal yang Dika dampingi lulus semua plus dengan nilai yang cukup membanggakan.”
“Keren… Kalau Bidadari Putih… itu siapa?”
“Hihi… itu mah… murid kesayangan Dika…”
“Hahahaha… Pak Guru norak banget ya… masak suka ama muridnya sendiri?”
“Hihi… bukan gitu maksudnya. Dika suka aja memandang wajahnya… Buat menghibur diri… hahahaha… Tapi sedih juga abis tau latar belakang keluarganya. Dika pengin banget bantu. Tapi gimana, pemasukan Dika aja minus dibanding kebutuhan wajib sekedar untuk hidup di sana?”
“Kalau minus kenapa masih bertahan? Trus gimana buat sehari-hari?”
“Kalo sampai Dika bertahan, sambil makan ati tiap hari itu, terlebih karena pengin liat mereka yang Dika dampingi lulus…”
“Trus buat sehari-hari?”
“Hihi… ada deh pemasukan dari les-les an. Malahan hasilnya jauh lebih besar dibanding salary bulanan Dika dari institusi tempat Dika ngajar.”
“Kalo lebih besar dan cukup, kenapa ngga dilanjutkan?”
“Hehe… mungkin Dika emang kaga ditakdirkan jadi guru. Dika mesti ubah sendiri nasib hidup Dika. Mesti ada satu langkah besar yang akan menjadikan Dika jauh lebih baik lagi.”
“Keren… ngga mudah loh… sekedar buat mutusin kayak gitu. Sherly ngga kebayang aja.”
“Ironi dari keputusan Dika saat itu… Dika ngga pernah bilang pada semua yang mengenal dan berjasa buat Dika selama ngajar di sana. Bahkan Dika ngga sempat minta maaf kalo ada salah-salah kata maupun perbuatan yang kurang berkenan, ngga sempat pamitan. Dika menghilang begitu saja abis pamit dari sekolah dan yayasan. Inilah hutang-hutang Dika yang mesti Dika lunasi. Dika akan kembali dan menunjukkan bahwa tanpa jadi guru sekalipun, Dika bisa hidup.”
“Berjaya dan memiliki serta dicintai Bidadari serupa Malaikat juga kan?” potongku.
“Hahahahaha… Itu bonus besar buat Dika seorang… Tuhan Maha Tahu, Sher… tau yang Dika butuhkan…”

Dika benar-benar tertawa lepas.

“Makasih… Makasih… Dika bener-bener berterima kasih untuk itu.”
“Hihi… sama-sama, Dika… Sherly juga makasih banyak. Dika hadir dalam hidup Sherly, menunjukkan dan mengajarkan banyak hal perihal kehidupan yang selama ini Sherly tidak tau… Itu artinya, Dika masih tetap jadi guru. Bedanya, murid Dika cuma satu aja sekarang, tapi istimewa…”
“Hahahaha… bener-bener… Sherly adalah murid Dika yang paling istimewa… sampai-sampai Pak Guru ini luluh-lumer dibuatnya… Dika nyerah-pasrah kalo ama murid yang satu ini.”
“Sherly dong itu orangnya?”
“Hahahaha… boleh Dika cium Sherly?”
“Hihi… kaga usah… Sherly aja yang ciumi Dika… Sayangku fokus nyetir aja… nyetir kebersamaan kita juga, biar kelak kita bisa nikah, tetap bersama, selamanya…”
“Dan punya anak lima… hahahaha…”

Pada akhirnya aku hanya bisa tersenyum demi mendapati tawa lepas Dika. Kusandarkan kepalaku di pundak Dika. Hanya senyum kedamaian yang mengiringi kebersamaan kami sepanjang siang itu.

…Dika, terima kasih telah menjadi bagian dalam hidup Sherly,
terima kasih telah hadir sebagai Dika yang baru,
Dika yang Sherly kenal seperti saat ini,
Lelaki Ajaib yang tak bosan-bosannya membuat Sherly tertawa,
bahagia dan selalu merasa damai dalam peluk kasihmu…

Tinggalkan komentar