Rendezvous

DIARY SHERLY : MY LOVELY CAPPUCCINO #19

Hari-hari ini adalah tentang nostalgi, tentang kembali setelah sekian lama pergi. Hari-hari ini adalah tentang mengenang masa silam, sepenggal masa dalam hidup seorang Dika, yang mendasari dan menjadikannya ada seperti Dika yang kukenal saat ini.

Hari-hari ini adalah tentang penebusan atas kesalahan masa lalu yang pernah Dika perbuat. Hari-hari ini adalah tentang kembali menjadi diri sendiri, menjadi pribadi baru seutuhnya, pribadi yang belajar dari kelu-pilunya masa lalu.

Dalam suntuknya Sang Waktu, Dika mengobati kerinduannya pada institusi yang sesaat pernah merenggut masa mudanya, pada Meme, Bidadari Putih murid kesayangannya, pada Monic, Sakura murid pertamanya kala berkarya di tempat itu.

Tak banyak yang Dika dapat dari acara pulang kembali di institusi tempatnya mengajar beberapa masa yang telah berlalu. Tapi dari pepatnya Sang Waktu petang itu, Dika berhasil memberi suatu nilai lebih pada arti pertemanan, persahabatan dan kasih.
Dika masih dapat memberi nilai lebih sebagai seorang teman, sebagai seorang sahabat, dari seorang mantan pendidik. Dika masih dapat berbagi kasih bersama mantan muridnya.

Dika dan perpisahan yang selalu berujung pada rindu. Demikian kusimpulkan nostalgi Dika pada sebuah senja di bilangan Kota Lama saat itu.

Dika pernah datang pada jeda waktu yang masih abu-abu kala itu, kemudian pergi meninggalkan semua, menghilang tanpa bayangan jejak sekalipun dan kembali sekedar untuk bernostalgi, mengenang serta melihat kembali puing-puing kenangan sejarah hidupnya yang berserakan di Kota Lama.

Perhentian rindu berikutnya adalah rumah di Kota Tua, Negeri Castle Dika, demikian ia selalu memberi julukan kepada kampung halaman dimana Dika lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam perlindungan penuh kasih oleh kedua orang tuanya.

Sesungguhnya, aku tak dapat menggambarkan gejolak benakku kala memasuki rumah Dika. Perasaan takut, cemas, canggung, semua berbaur jadi satu. Sejujurnya aku lebih merasa takut dibanding gejolak rasa yang tak jelas lainya kala hendak bertemu dengan kedua orang tua Dika. Aku akan segera bertemu dengan Bapak dan Bunda Dika. Pada akhirnya, kuletakkan gundah gelisahku pada erat genggaman jemari Dika yang menuntunku memasuki pintu rumah itu.

Seorang Bunda, perempuan sederhana yang tampak sudah menunggu kami untuk sekian waktu, menyambut kedatangan kami.

“Dika pulang, Bunda.”

Dika mencium tangan Bunda dan segera memeluknya. Tak banyak kata terucap. Bunda mengacak-acak rambut Dika kemudian tersenyum kepadaku.

“Bunda… ini Sherly… ikutan Dika pulang.”

Dika memperkenalkan diriku. Kucium tangan Bunda kemudian memeluknya. Bunda tersenyum kepadaku dan masih tanpa banyak suara.

Berikutnya, Bapak Dika, seorang lelaki yang tampak sudah kenyang dengan asam garam dunia, duduk di kursi kebesarannya di tengah ruang tamu itu.

Dika memberi salam, mencium tangan lelaki itu dan memeluknya erat seolah tak mau dilepasnya. Begitu eratnya sampai-sampai dadaku terasa sesak melihat pemandangan kasih anak terhadap Bapaknya.

Setelah sekian waktu, giliranku pun tiba. Dika menuntun dan menguatkan diriku hingga acara perkenalan singkat itupun dapat kulalui dengan tanpa kendala.

Setelah membersihkan diri, Dika memintaku untuk istirahat di kamarnya. Dika meninggalkanku seorang diri untuk menemui Bapak tercintanya, untuk berbincang dan saling melepas rindu.

Kamar Dika berada paling depan, tepat di samping pintu utama rumah. Kamar Dika juga terbilang yang paling besar. Dua kamar yang dijebol dindingnya dan dijadikan satu ruangan hingga menjadi cukup luas. Aku duduk di tempat tidur tepat di tengah-tengah ruangan. Sebuah meja dan kursi berada pada salah satu sisi tepat menghadap ke jendela. Buku-buku Dika yang tersusun rapi berjajar dalam sebuah rak berada pada sisi lainnya.

Pandanganku langsung tertuju pada salah satu dinding. Kulihat sederet foto Dika lengkap dengan atribut panggung saat Dika bernyanyi. Sebuah foto yang cukup besar terpajang di tengah. Foto ekspresi Dika saat berteriak di atas panggung, dengan hanya mengenakan short pants kulit warna hitam dengan rambut tergerai mengembang tertiup angin. Keren…

Disamping kiri-kanannya adalah foto-foto diri Dika, juga lengkap dengan atribut panggung. Dika dengan bandana, celana pendek super ketat warna putih, dengan hanya mengenakan blazer merah yang dibiarkan terbuka memamerkan dada bidangnya. Dika mengenakan tank top putih gombrong, berkacamata aviator, dengan celana jeans belel yang sobek-sobek pada bagian paha atasnya. Dika berkemeja flannel merah putih, sepadu dengan bandana merah putih yang menutupi dahinya, dengan pants cekak juga berwarna putih bergaris merah. Dika mengenakan sporty jersey football warna biru, senada warnanya dengan pants super ketat dan bandana putih terikat di kepalanya. Dika mengenakan bike short hitam dengan jaket kulit Jack Union ala bendera Inggris. Dika dengan mengenakan short pants yang dipadukan dengan atasan cropped yang memamerkan otot perutnya.

“O… ternyata emang sejak dulu Dika hobi memakai celana pendek… Pantes aja kalo Dika dikerubutin cewek-cewek dengan tampilan seperti ini… Dika muda betul-betul cakep, sexy lagi…” decak kagumku.

Berikutnya kulihat foto-foto Dika di beberapa puncak gunung. Kuambil salah satu foto dalam bingkai yang cukup besar itu, kemudian kubawa ke tempat tidur untuk mengamatinya dengan lebih seksama.

Foto Dika muda, wajahnya masih begitu imut, dengan poni dan rambut masih sebahu tergerai, mengenakan celana cargo, sepatu kickers serta baju flannel kotak-kotak warna biru-hitam, mungkin inilah zirah kebesaran Dika. Aku tahu, Dika menyukai warna biru dan hitam.

Tanpa kusadari, aku tersenyum seorang diri demi melihat foto itu. Sesaat kemudian, aku jadi teringat dengan cerita-cerita Dika. Ternyata semua yang Dika katakan benar adanya. Keren…

Berada di kamar Dika seolah melihat kilasan demi kilasan nasib yang digariskan oleh Dika, takdir yang terjadi atas hidupnya. Dika dengan kacamata hitam berseragam SMA, Dika dengan sepatu kickers coklat di puncak sebuah gunung, Dika dengan beberapa temannya yang semua berambut panjang, Dika dengan kepala plontos tanpa sehelai rambutpun, sampai pada foto ini, aku tak kuasa menahan tawa. Ada-ada saja kelakuannya.

Kemudian beberapa foto kanak-kanak Dika. Lagi-lagi aku terbahak ketika melihat sebuah foto Dika kecil yang tertimpa sepeda. Kemudian kualihkan pandangku pada sisi yang lain dari dinding kamar itu. Beberapa foto keluarga terpampang rapi. Bapak, Bunda dan kakak-kakak Dika lengkap dengan suami dan anak masing-masing. Tepat di tengah-tengah foto keluarga itu, terpajang foto Bapak Dika dengan ukuran cukup besar, dengan tulisan besar yang membuat benakku terharu, sebuah tulisan tangan Dika yang berbunyi : Inilah Bapak, Bapak-ku! Superman-ku!

Berikutnya adalah foto Dika mengenakan setelan jas resmi serta sebuah bingkai kosong dengan gambar sebuah tanda tanya besar di tengah-tengahnya. Kali ini aku tak kuasa menahan tawa saat membaca sederet kata di bawah gambar tanda tanya besar itu : Beruntunglah wahai Bidadari yang akan menempati bingkai ini!

Ada-ada saja kelakuan Dika. Dalam hati aku tersenyum, ingin sekali foto diriku terpampang menggantikan gambar tanda tanya besar dalam bingkai kosong itu. Entah kenapa pula tiba-tiba aku merasa begitu nyaman di ruangan itu. Bahkan seolah lelahku sirna demi melihat Dika dalam rentang masa yang telah dilaluinya.

Detik berikutnya, kudekati buku-buku di rak pada sudut yang lain ruangan itu. Sebagian besar berisi novel dan buku-buku berbahasa Inggris, aku tak begitu mengerti. Benakku tergelitik pada deretan buku di rak bagian atas. Kuambil sebuah buku dan kulihat isinya. Ternyata puisi-puisi Dika yang masih ditulis tangan, lengkap dengan tanda diri dan penanggalannya. Kubaca beberapa puisi dalam buku tersebut. Sesekali aku tertawa, sesekali pula aku tersenyum.

Berikutnya, pada bagian pojok dari rak buku tersebut kudapati beberapa album foto berukuran besar. Kuambil salah satu dan kulihat-lihat isinya. Foto-foto Dika ketika berada di beberapa puncak gunung.

Kemudian kubuka album berikutnya. Isinya foto-foto Dika dengan rambut panjangnya dalam berbagai pose. Keren. Dika bener-bener mirip dengan Axl Rose. Dika dengan poni-nya, Dika dengan memakai slayer, Dika dengan kacamata hitam, Dika ketika bernyanyi di panggung dengan berbagai pose, ada yang tanpa baju, ada yang mengenakan rompi, ada pula Dika dengan kaos oblong besar. Hampir semua pose dalam foto itu, Dika selalu mengenakan celana street belel sobek serta Sebagian lagi bercelana pendek ketat.

Bahkan dalam satu album, terlihat Dika berpose dengan gadis-gadis cantik, ada yang memeluk Dika, ada yang mencium Dika, Dika merangkul dua gadis sekaligus, semua tentang Dika dikelilingi gadis-gadis cantik. Seperti inikah kejayaan Dika waktu itu? Pantas saja banyak yang memanggilnya Axl. Aku tersenyum. Ini adalah Dika, Dika-ku, bukan Axl Rose.

Album berikutnya adalah album terakhir pada tumpukan paling bawah. Kulihat sekilas, berisi foto-foto Dika dengan gadis yang berbeda-beda. Ada pula beberapa foto gadis dengan ukuran besar. Semua berambut pendek. Dalam hati aku menerka, ahaaa… inilah Bidadari-Bidadari masa lalu Dika. Kubawa album itu kembali ke tempat tidur, kemudian kembali kuamati satu per satu foto-foto di dalamnya.

Rasa penasaranku dikejutkan oleh suara pintu yang diketuk dari luar. Detik berikutnya, Bunda Dika masuk dengan membawa sebuah bantal dan selimut tebal. Aku hanya tersenyum tanpa bisa berkata-kata saat itu. Bunda mendekati dan duduk di sampingku.

“Nanti kalau tidur pakai selimut. Dingin kalau sudah mau pagi.” tutur Bunda lirih.
“Makasih Bunda.” jawabku.
“Lihat foto yang mana itu?” kembali Bunda bertanya.
“Ini Bunda.” sahutku sambil menunjukkan sebuah foto.
“Oh, itu Menik. Dika sudah cerita belum soal Menik?” kembali Bunda bertanya.
“Sedikit Bunda.” balasku.
“Sini, Bunda yang cerita…” diambilnya album foto itu kemudian dibukanya mulai dari depan.
“Foto Dika yang lagi disuapi Menik ini kalo tidak salah di acara resepsi pernikahan Anna, Kakak Dika. Kalau yang ini Dika dan Menik sewaktu di Puncak Sumbing…” tutur Bunda sambil menunjukkan sebuah foto Dika saat dicium oleh seorang gadis. Rasa penasaranku timbul.
“Boleh lihat Bunda?” tanyaku sementara Bunda menyerahkan album itu kembali kepadaku.
“Jadi ini yang namanya Menik ya, Bunda?” tanyaku.
“Menik itu nama rekaan Dika. Nama sesungguhnya Gabriella Jeannie Chandra…”
“Bagus namanya…”
“Ya begitulah Dika… selalu sesuka hatinya…”

Kubuka lembaran berikutnya dari album itu. Tampak beberapa foto close up Menik serta beberapa foto Dika bersama dengan Menik. Ada yang berpelukan, ada yang gendong-gendongan, semua tentang Menik dan Dika.

“Imut ya Bunda, Si Menik ini.” tanyaku.
“Lucu juga anaknya. Dika bilang, karena tubuhnya yang menik-menik atau mungil itulah sehingga dipanggilnya Menik.” terang Bunda, sementara aku tertawa tertahan, mengingat tuturan yang sama yang pernah Dika sampaikan kepadaku perihal Menik ini.

Ada sebuah rasa yang entah demi melihat foto-foto mesra Dika bersama Menik dalam album itu, seolah mereka adalah sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Tapi apa benar, Dika dan Menik betul-betul tak pernah pacaran?

“Sherly jangan berpikiran macam-macam. Sekalipun mereka sedekat itu, Menik dan Dika tidak pernah pacaran. Bahkan Menik sudah berkeluarga sekarang.”
“Loh, koq Bunda tahu apa yang ada dalam benakku?!” kejutku hanya dalam hati.
“Iya, Bunda… Dika pernah cerita.” sahutku menutupi keterkejutanku.
“Coba ambil album yang warna putih itu.” suruh Bunda.
“Yang ini Bunda?”
“Ya… bawa kemari…”

Bunda membuka album itu dan menunjukkannya kepadaku sambil bercerita.

“Ini namanya Karin, teman deket Dika waktu masih SMA… kalau yang ini Evelyn, kakaknya Menik, Dika memanggilnya Veve, temen kuliah Dika…”
“Oh… jadi yang teman kuliah Dika itu Evelyn, Bunda?” tanyaku.
“Iya, Evelyn itu temen dekat Dika waktu kuliah dulu, teman naik gunung juga. Nah, Menik itu adalah adiknya Evelyn, waktu itu Menik masih SMA. Mereka berdua tinggal serumah. Jadilah akrab ketiganya.”
Entah kenapa aku jadi enggan untuk melihat foto-foto kelanjutannya. Namun benakku berkata lain, siapa lagi yang pernah dekat dengan Dika?
“Maaf, Bunda… kalau foto-foto Dika bersama gadis-gadis cantik yang di panggung?”
“Itulah sebagian masa lalu Dika, Sherly… anak itu tak pernah lepas dari yang namanya perempuan. Mungkin sudah turunan dari Bapaknya. Coba lihat ekspresi wajah Dika, kosong kan? Tak ada ketulusan kan? Sekarang lihat ekspresi wajah Dika saat bersama gadis-gadis yang dikenalnya dengan baik, lepas semua kan ekspresinya? Damai semua kan?”
“Bunda, kenapa tiba-tiba Sherly merasa tidak ada apa-apanya ya, dibanding sekedar foto-foto kebersamaan Dika dengan gadis-gadis lain?”
“Baguslah itu…” jelas Bunda.
“Maksudnya, Bunda?” potongku.
“Bagus itu… itu artinya, Sherly cemburu, dan kalau Sherly cemburu, itu artinya Sherly tidak rela, dan kalau sampai Sherly tidak rela, itu artinya, Sherly tidak ingin ditinggal Dika, dan kalau Sherly tidak ingin ditinggal oleh Dika, itu artinya Sherly sayang pada Dika.”

Kami tertawa bersama. Malam itupun aku jadi merasa bahagia, merasa diterima. Bersama Bunda Dika kutemukan kehangatan. Bersama Bunda Dika kutemukan banyak hal tentang masa lalu Dika yang selama ini aku tidak tahu. Bunda, Bunda Dika, terima kasih.

…Hari-hari ini adalah tentang nostalgi,
Dika kembali dan mengenang segala yang pernah dilalui
dan berada di kamar Dika,
seperti melihat kilatan-kilatan peristiwa di masa mudanya…

Tinggalkan komentar