Dika Dan Serat Centhini

Pukul empat, alarm ponsel Dika berderit. Dika meloncat dan segera mematikan ponselnya. Aku terbangun oleh loncatan Dika. Lelaki Ajaibku tersenyum kemudian mengecup keningku.

“Selamat pagi, Cahayaku…” bisiknya.
“Pagi Cappuccinoku…” balasku.
“Nyenyak tidurnya?”
“Dik, Sherly koq lemes banget gini ya?”
“Hihi… mimpi apaan semalam?”
“Mimpi? Dika pasti tidak tidur lagi ya?”
“Gimana mau tidur, lengan Dika sampai berdarah nih.”
“Kenapa, Sayang?”
“Hihihi… semalem Sherly-ku mimpi apaan?”
“Mimpi? Sherly lemes banget, Dik…”
“Hihihi… ya udah tidur lagi… Dika temenin.”

Dika tak henti-hentinya membelai rambutku. Setelah sekian waktu berlalu dan alam lelapku sudah pulih, kulihat wajah Dika yang tersenyum tepat di hadapan wajahku. Antara sadar dan tidak, kupandangi wajah Lelaki Ajaibku. Spontan kusibak rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

“Nakal… Dika nakal…” bisikku sambil menyentuh bibirnya dengan jariku.
“Hihi… Bu Dokter semalam mimpi apaan?”
“Dika nakal!!!”

Kubenamkan wajahku di dada Lelaki Ajaibku. Beraneka ragam perasaan memenuhi benakku. Malu, bahagia, lega… semua berbaur.

“Kaga usah malu gitu, Sayaaang…” bisik Dika.
“Dika nakal!!!” bisikku sambil terus memukul dadanya.
“Hihihi… yang penting Sherly-ku bahagia… dan lega.”
“Apaan sih… Dika jelek!!!”
“Ceritain dong mimpinya semalem? Aduh… aduh… aduhhh… udah dong mukulinnya.”
“Dika jelek!!!”
“Hihi… ya udah, sekarang mandi, terus bantu Dika berkemas ya?”

Aku hanya tersenyum kemudian memeluk Dika.

“Dik… gendoooong…” pintaku manja.
“Yeee… gimana mau gendong, lengan Dika sakit semua dicengkeram Sherly semaleman. Nih, sampai ada yang berdarah.” tunjuknya.
“Dika jelek!!!”
“Hihi… udah bilang aja kalo masih lemes… silahkan dilanjutkan lagi mimpinya, Tuan Putri.”
“Apaan sih… malu tau kalo inget.”
“Hihi… yang penting Sherly-ku lega.”
“Norak kamu, Dik!”
“Hihi… iya, maaf, Dika ke belakang bentar ya, haus nih.”

Aku hanya mengangguk. Dika tersenyum dan mencium keningku. Sisanya hening sampai beberapa waktu hingga Lelaki Ajaibku kembali dan berbaring di sampingku. Kuciumi wajah Dika. Lelaki ajaibku hanya tersenyum.

“Dik…”
“Iya, Tuan Putri?”
“Koq, bisa-bisanya Dika kayak semalam? Pasti bidadari-bidadari masa lalumu juga sering kamu terbangkan gitu ya?”
“Yeee… Gantian Sherly yang norak sekarang.”
“Hihihi… anyway, makasih banyak buat semuanya ya, Sayang… Sherly sayang Dika.”
“He em… sama-sama… Sherly mau tidur lagi?”
“Bentar Dik, benak Sherly seperti diaduk-aduk, bantu Sherly memahami semua ini ya, Sayang?” pintaku.
“He em… mau mulai darimana? Tentang semalam? Kasihan tuh, para jomblo pada penasaran… nungguin sejak tadi kaga ada penjelasannya… hihihi…”
“Apaan sih, malu tau, jangan diungkit-ungkit lagi dong. Please?”
“Hihihi… bentar… bentar… Dika yang malu tau dijewer Bunda tadi waktu di dapur.”
“Kenapa emang?”
“Ini nih… gara-gara kuku Sherly, sakit beneran nih, semalem Sherly cengkeram lengan Dika, pas yang kena kuku sampai berdarah… hihi… terus waktu minta plester di dapur, ketauan Bunda kalo lukanya karena kukunya Sherly, trus Dika dijewer ama Bunda… Dika yang malu tau…”
“Hihihi… maaf-maaf… kan Sherly ngga tau kalo sampai segitunya, Dika Sayaaang?”
“Hihi… iya, ya… ok, artinya untuk bagian yang ini kita impas ya?”

Dalam keheningan sekian detik waktu, benakku mencoba memahami apa yang terjadi semalam. Dika seolah tahu dengan kebingunganku dan segera memelukku.

“Jangan ngelamunin tentang semalam terus-terusan dong, tar ketagihan lho!”
“Apaan sih, cuma lagi nginget-inget aja. Semalem Dika ngga tidur ya? Koq bisa, Sayang?”
“Gimana mau tidur, lengen dicengkrem, trus jari Dika diremes abis juga?”
“Hihi… maaf ya, Sayang… tapi koq bisa Dika buat Sherly segitunya, Sayang?”
“Dengerin baik-baik ya… di Tanah Jawa ini, ada sebuah buku atau kitab namanya Serat Centhini. Isinya lengkap, dah kayak Ensiklopedia Jawa. Trus ada bagian dalam Serat Centhini ini yang dianggap sebagai Kamasutra-nya orang Jawa. Kitab itu diakui dan ditulis ulang oleh pihak keraton. Bahkan tak sedikit orang Jawa yang berargumen bahwa Serat Centhini lebih hebat dibanding Kamasutra. Logikanya sederhana, kitab ini lebih tepat dan sesuai untuk orang Jawa, sementara kalo Kamasutra kan buatan India, cocok buat orang India hehe… Masalahnya, edisi aslinya masih dalam bentuk huruf Jawa dan diterjemahkan juga baru dalam Bahasa Jawa. Ini yang membuat Serat Centhini kalah populer dibanding Kamasutra-nya orang India.”
“Isinya apaan, Dik?”
“Tuh, kan, penasaran kan? drg. Sherly aja sampai penasaran, mustinya yang baca ini juga penasaran… hehe… Jadi kalo dibilang lebih keren daripada Kamasutra, Dika setuju, selain bahasa bersayap yang begitu tersamarkan, sebetulnya diksi yang digunakan juga begitu vulgar. Hebatnya lagi, tokoh utama dalam kisah tersebut adalah notabene tokoh besar. Tidak usah Dika sebutkan ya, yang menuturkan masalah seksualitas dengan begitu vulgar, kaga terbayang kan? Hebatnya, diksi-diksi tersebut disamarkan dalam serangkaian tulisan seperti pantun yang biasa dilagukan. Agak sulit bagi orang awam sekedar untuk memahami semua itu. Setidaknya, yang Dika pahami, Serat Centhini tak hanya mengajarkan tentang seni bersetubuh versi orang Jawa, namun terlebih tentang ajaran kasih.”
“Masak segitunya, Dik?”
“Yeee… dibilangin juga, contohnya nih, tata cara menari di ranjang, kemudian filosofi-filosofi dan bahkan waktu yang tepat untuk menari di atas ranjang. Semua diterangkan dengan begitu lugas!”
“Wuihhh… beneran, Dik?”
“Hihi… mau diterusin kaga nih? Liat tuh… para jomblo yang baca pada senyam-senyum sendiri.”
“Hihihi… terus gimana? Sherly baru tau. Isinya apaan?”
“Contohnya nih ya, ketika sang protagonis laki-laki, yang disergap birahi pada dini hari.”
“Koq… ngga diterusin?”
“Jangan nganga gitu dong?”
“Hihi… iya, maaf… terus?”
“Sebetulnya birahi dini hari itu adalah cara halus khas Jawa untuk menyebutkan ciri-ciri pria sehat. Nah, dalam keadaan memuncak secara maksimal, ia gagal menyalurkannya baik dengan istri maupun selir-selirnya.”
“Emang kenapa?”
“Hihi… kenapa ya?”
“Ya, Dika, kasian tuh, udah pada ngarep kelanjutannya.”
“Sherly juga kan? Hahahaha…”
“Apaan sih… Dika jelek.”
“Hihi… tau kaga kenapa gagal?”
“Enggak!”
“Jadi dikisahkan bahwa saat itu semua selir dan istrinya lagi dapet.”
“Hahahaha… ngaco kamu, Dik!”
“Yeee… beneran.”
“Masak sih, Dik?”
“Tuh kan… makanya dengerin dulu.”
“Iya… iya… maaf… Jadi dikisahkan, kebetulan istri ama selir-selirnya lagi pada datang bulan, trus gimana coba?”
“Jangan buat penasaran dong, Dika?”
“Hihihi… maaf… jadi dikisahkan sampai ia mencoba meredam birahi dengan berendam di air dingin. Gagal juga seru deh pokoknya.”
“Ya, Dika… kenapa dipotong sih?”
“Biar pada baca bukunya aja… kalo sanggup… hihihi…”
“Sebegitu vulgarnya ya, Dik?”
“Komplit dah, adegan homoseksual, lesbi, komplit dah Cuma ambil yang penting-penting aja.”
“Contohnya?”
“Yang simple aja yah, tentang enam langkah ataupun panduan menari di atas ranjang… hehe…”
“Apa aja, Dik?”
“Namanya Asmara Nala, yang pertama tuh, jadi jika pengin menari di ranjang, harus benar-benar dilandasi oleh cinta, bukan sekedar buat nyalurin hasrat. Ini lebih pada penggabungan dua hati yang saling mendamba.”
“Wuih… keren… itu bahasa Dika ato dari kitab?”
“Hihi… biar gampang aja, biar para jomblo gampang memahaminya. Ingat… penyaluran yang saling mendamba… jadi kaga boleh sepihak. Namanya perkosaan kalo cuma sepihak.”
“Keren… trus?”
“Yang kedua namanya Asmara Tura, jadi selain dilandasi oleh rasa cinta, musti juga dilengkapi dengan rasa tertarik pada penampilan pasangannya, sehingga kedua pihak merasa nyaman… hehe… dah kayak Sherly semalam kan? Sherly nyaman banget kan ama Dika?”
“Iyalah… emang Sherly selalu nyaman ama Dika. Trus?”
“Berikutnya, Asmara Turida, yang ini keren nih… sebelum melakukan tarian ranjang yang sesungguhnya, buatlah situasi yang romantis.”
“Wuihhh… Dika banget itu!”
“Hihi… iya, narsis dikit boleh kan? Maksudnya tuh dengan sedikit candaan trus stimulus pasangan dengan kicauan nakal…”
“Mendesah… maksudnya?”
“Pinterrr… hihi… jangan tegang gitu ah”
“Jelek… jelek… jelek… Dika jelek!!!”
“Hihihi… dilanjutin kaga nih?”
“Hihihi… udahan dong becandanya, Sayaang?”
“Nah, gitu kan lebih semangat… hihi… sampai mana tadi? Desahan nakal ya?”
“Dika norak!!!”
“Tuh kan, makanya Dika pake istilah kicauan nakal tadi.”
“Hihi… iya ya… trus berikutnya?”
“Yang keempat namanya Asmara Dana, jadi selagi terbang bersama, jangan lupa ucapkan kata-kata indah, kata-kata manis, romantis, biar lebih anget aja suasananya… hehe…”
“Bisa aja kamu, Dik… tapi Dika banget tuh… kayak semalem… hihihi…”
“Hihihi… emang beneran gitu… trus abis tu Asmara Tantra, kalo jaman now istilah kerennya… pemanasan.”
“Foreplay?”
“Pinterrr lagi… dua jempol buat Bu Dokter… hehe… barulah yang terakhir Asmaragama. Sampai di sini aja yah? Sekalipun kuno dan tradisional banget, hal-hal mendasar seperti ini udah banyak dikesampingkan orang kan?”
“Bener juga ya, Dik… keren…”
“Makanya, jangan berpikiran negatif dulu.”
“Bentar… bentar… biar tambah baper… mendingan besok kita praktekkan aja sekalian… hihihi… gimana?”
“Wuihhh… ide yang brilian… biar pada tahu rasa mereka… hahahaha…”
“Hihihi… siip… terus hubungan antara Serat Centhini ama semalem apaan, Dik?”
“Itu dia… Dika baca udah lama banget tuh, kaga mudeng juga… hihi… kaga bisa praktek soalnya.”
“Hahaha kasian… Dika pernah jomblo juga?”
“O… lama banget itu… hihihi…”
“Terus gimana kalo ngga mudeng?”
“Tanya Bapak… hehe…”
“O… iya ya… “
“Ternyata nih, Bapak bisa menjadi sosok penuh kasih seperti itu, dulu-dulunya juga karena baca Serat Centini ini… dan Bapak juga kaga mudeng… hahahaha…”
“Hushhh!”
“Hihihi… maaf, Pak maafin Dika ya, Pak?”
“Terus gimana kalo Bapak ngga mudeng?”
“Ternyata Bapak juga tanya Bapaknya Bapak, Eyang Dika maksudnya, jadilah ilmu dalam Serat Centini itu dijadikan ilmu turun-temurun.”
“O… gitu, pantesan aja Bapak istrinya sampai tiga ya, Dik?”
“Hushhh!!!”
“Eh, maaf… maaf… Pak… hihihi… Nah, selain seni bersetubuh, banyak juga dituliskan di situ terutama tentang bagaimana seharusnya memperlakukan seorang perempuan, mengasihi dan menyayangi perempuan dan masih banyak lah pokoknya. Hal-hal inilah yang ditekankan oleh Bapak waktu itu. Dika harus bisa memahami itu semua, akhirnya jadilah Dika seperti sekarang ini. Bunda bilang, Dika persis Bapak dan Bapaknya Bapak.”
“Duplikat Bapak istilahnya Bunda, Dik.”
“Iya… Bapak selalu menegaskan hal-hal itu dalam hubungannya dengan perempuan. Ini yang kebanyakan laki-laki lupa atau bahkan tidak tahu.”
“Bener banget itu… keren…”
“Siapa yang keren? Bapak ato Bapaknya Bapak Dika?”
“Apaan sih… penjelasannya yang keren.”
“Hihihi… udah ngarep tadi… ternyata…”
“Ngarep apaan? Ngarepin Sherly bilang Dika lebih keren dibanding semua? Terus ngarepin cium dari Sherly?”
“Hihihi… udah basi ya?”
“Iya lah… lama-lama Sherly hafal.”
“Hihi…”
“Dika, Cappuccinoku… kalo Sayangku pengin dicium tinggal bilang aja… ngga usah muter-muter.”
“Hihi… iya.”
“Iya apaan? Minta dicium? Sekarang?”
“Enggak… iya… muter-muter.”
“Apaan sih?”
“Maksudnya kaga usah dicium, tar aja, tapi iya, muter-muter tadi, soalnya sambil nginget-inget kelanjutannya.”
“Hihihi… iya, kelanjutannya gimana tadi?”
“Nah… inget sekarang… sampai hubungan Serat Centini ama semalam kan? Kaga cuma itu, sekalian penjelasan tentang foto-foto yang bikin Sherly cemburu kemarin… semua bertautan tuh.”
“Ya, tapi kaga usah ditambah-tambahi pake kata cemburu juga kali… hihihi…”
“Hihihi… Jadi begini, Sher…”
“Nyimak.”
“Setelah penjelasan panjang lebar tentang Serat Centhini tadi oleh Bapak, Dika berusaha sungguh-sungguh untuk mengaplikasikannya, menerapkannya ketika memperlakukan perempuan. Hasilnya ya seperti dalam foto-foto di album kemarin, Dika jadi bisa deket banget ama Evelyn, temen kuliah Dika, ama Menik juga, Dika juga tau kalo Menik ngarep banget ama Dika, tapi mau gimana lagi?”
“Kasihan juga Si Menik ya, Dik?”
“Udahlah, Menik udah bisa bahagia ama Garry dan terlebih punya Ian, yang katanya mirip Dika… hehe… Dika ikut seneng juga koq untuk itu.”
“He em… terus gimana tadi lanjutannya?”
“Yang jelas, dengan diperlakukannya kalian para perempuan seperti itu, seperti tuturan dalam Serat Centhini tadi, kalian bisa bahagia kan? Kadang sampai bingung sendiri dengan yang dirasakan kan? Ujung-ujungnya… pasrah… bahasa kerennya, sweet surrender, penyerahan yang tulus.”
“Iya juga, Dik… Sherly kadang sampai ngga bisa berkata-kata lagi, speechless.”
“Ya itu karena bahagianya kelewat aja, alias over.”
“Iya… terus pasrah… tapi seneng… makanya ngga takut, ngga merasa karena nafsu ato apa yang negatif… pokoknya kelewat bahagia aja trus pasrah deh.”
“Itu yang terjadi semalem.”
“Maksudnya, Dik?”
“Sebelumnya maaf ni ya?”
“Iya, udah Sherly maafin!”
“Santai dikit kenapa sih, Sher?”
“Dikaaaa!!!”
“Iya… iya… hihihi…”
“Jangan becanda lagi loh!”
“Jadi kemarin tuh Dika merasa bersalah aja, jadi Dika minta maaf tadi karena merasa bersalah, selama di rumah, Dika lebih sering bersama Bapak dan ninggalin Sherly.”
“O itu… ngga apa-apa kali… Sherly bisa ngerti koq, lagian Sherly kan ditemenin Bunda, terus belajar banyak ama Bunda, jadi ngerti banyak tentang Dika juga dari Bunda… hehe…”
“Malah ganti ketawa.”
“Ya… spontan aja… Sherly seneng banget kalo inget waktu-waktu sama Bunda.”
“Terus yang semalam kaga bikin seneng? Kaga Dika lanjutin nih?”
“E-ehh… jangaaan… lanjutin dong, Sayang… mesti syaratnya minta cium dulu, ya kan?”
“Hihi… dah pinter sekarang.”
“Iya lah… tapi tar biar kelar dulu.”
“Jadi waktu Dika masuk semalem, terus liat ekspresi muka Sherly yang kusut, Dika sadar kalo Sherly kangen Dika. Kelamaan Dika tinggal ya… hehe… terus waktu lihat Sherly udah setengah liar gitu, ya udah, Dika turutin aja semua mau Sherly.”
“Itu sebelum ato sesudah Sherly nutup pintu?”
“Sebelum nutup… pake acara nantang-nantang segala… inget kaga? Terus suruh milih juga, mau apanya dulu yang dibukain? Inget kaga?”
“Hihihi… Iya, tapi abis itu Dika bener-bener nakal tau!”
“Naaaah… sampai di bagian itu… Dika jadi inget Bapak… inget Serat Centini tadi.”
“Maksudnya, Dik?”
“Ya begitulah Kamastra versi Jawa… Sayangku bisa tau kan sekarang? Bisa ngrasain juga kan imbas akibatnya? Kaga nyangka sampai segitunya kan?”
“Iya… ya… betul juga.”
“Begitulah seharusnya kalo mau berdansa di ranjang. Hebat kan Dika, bisa memperkosa Sherly tanpa membuka baju, tanpa menyentuh bagian-bagian terlarang? Hehehe…”
“Bahkan tanpa bersetubuh yang sesungguhnya, Sherly bisa segitunya ya, Dik?”
“Dan liar banget… hehe…”
“Ya, tapi kenapa istilahnya berdansa di ranjang dengan liar sih, Dik, cari yang lain kenapa sih?”
“Hihihihi… suka-suka Dika dong.”
“Bentar… bentar… intinya, Dika bisa menerbangkan Sherly sampai langit kedelapan hanya lewat sentuhan lembut plus kata-kata doang?”
“Langit ketujuh kali.”
“Biarin… suka-suka Sherly dong… hihihi…”
“Ya, begitulah… ketika sebenarnya Sherly udah memuncak hasratnya, terus Dika kasi sedikit sentuhan aja tapi plus-plus tentunya, jadilah melayang-layang tak terhingga kan?”
“Plus-plus… maksudnya?”
“Pake kasih juga dong nyentuhnya… kaga kasar, asal-asalan kayak mau lari maraton ato memperkosa aja… hehe… juga sayang… kalo Dika kaga sayang ama Sherly, jadinya nafsu… itu yang sering terjadi pada pasangan-pasangan pada umumnya. Catet baik-baik itu!”
“Hihihi… iya, Dik… betul sekali.”
“Hehe… cium dulu dong?”
“Hihihi… tar biar para jomblo penasaran dulu… ini bagian puncaknya… hehe…”
“Tuh, kan… Bu Dokter jadi ikutan norak.”
“Biarin… Dika yang ngajarin.”
“Kan biar sehati… hahahaha…”
“Pertanyaan Sherly, kenapa Sherly bisa tertidur? Bahkan Dika ngga nyentuh sama sekali… ngga nakalin Sherly kan?”
“Ya gampang itu jawabnya… dulu waktu mata kuliah seksologi umum masuk kaga?”
“Apaan sih? Koq malah Sherly yang jadi bloon gini? Malah Dika yang dah kayak dokter beneran… hihi…”
“Dika aja… bukan Dokter… bukan pula Dokterandus… cukup Dika aja…”
“Hahahaha… iya… iya… maaf… Dika… aja… maafin Sherly, Sayang… hihihi… jangan tersinggung ya, Sayang?”
“Hihi… iya… jadi inget pengagum rahasiamu kan?”
“Udah ah, jangan ganti topik… males ngomongin itu… terus sampai mana tadi?”
“Sampai ketiduran.”
“Iya, koq bisa Sherly tertidur, Dik?”
“Hihi… lupa ya… Sherly bilang apa sebelum pules?”
“Emang Sherly bilang apaan?”
“Bilang gini : Dik, koq Sherly lemes banget ya rasanya?”
“Emang bener gitu, Dik?”
“Kaga cuma itu… udah merem-melek keenakan… terus lemes… selesai… sampai disini perlu Dika lanjutin, Dokter Gigi Sherli Putri Titiani?”
“Apaan sih? Beneran itu, Dik?”
“Yeee… dibilangin juga…”
“Ok, sampai di bagian ini masuk akal semuanya. Pertanyaan terakhir… kenapa bisa kebawa sampai ke mimpi ya, Dik?”
“NAAAAAAAHHH… ini yang Dika tunggu-tunggu sejak tadi pagi… hehehehehe…” kejut Dika.
“Maksudnya?”
“Pake tanya lagi… mau menyiksa para jomblo? Mau nambahin penderitaan mereka?”
“Sherly ngga paham, Dika?”
“Wah, dunia bener-bener udah kebalik… mulai nanti panggil Dika lengkap ya : Dokter Andika… hahahaha…”
“Maksudnya apaan, Sayang?”
“Hihi… pertanyaan terakhir tadi apa? Kenapa bisa bersambung di mimpi Sherly kan?”
“Hihihi… emang sinetron bersambung? Terus kenapa bisa kebawa sampai mimpi?”
“Itu dia, the missing link yang Dika tanyain bahkan sejak Sherly terbangun kan? Sherly-ku mimpi apaan semalam?”
“O… maksud Dika…”
“Ya gimana Dika bisa jelasin, kan yang mimpi Sherly… terus Dika kaga tau mimpinya apaan, gimana rasanya… hihi… coba tadi pagi Sherly langsung cerita… lengkap deh penjelasan Dika… iya kan?
“Hihihi… ajaib… Dika emang ajaib… ngga nyangka Dika bisa seperti itu, ama tau semuanya.”
“Ah, recehan Dika udah abis, Non.”
“Apaan sih?”
“Hihihi… Gimana?”
“Apanya yang gimana, Dika Sayaaang?”
“Mimpinya gimana? Hihihi…”
“Enggak ahh… malu tau!”
“Hihihi… bener kaga kasian ama jomblo-jomblo yang pada baca ama senyam-senyum sendiri sejak tadi nih? Kasian loh, Sher…”
“Jeleek… Dika jeleeek!”
“Tuh kan… mulai kan…”
“Nakal!”
“Hihihi… maafin Sherly ya pembaca, malu katanya.”
“Apaan sih, Dikaaa! Hihi… emang separah itu bentuk Sherly waktu tidur ya, Dik?”
“Wuihhh… ampun deh… antara Dika sendiri yang sebetulnya udah kaga tahan juga, tapi ama nahan sakit pada lengan Dika yang Sherly cengkeram kenceng banget, sampai kecakar kuku, terus jari Dika juga sakit, Sherly remas, udah gitu kaki kaga karuan, nendangi selimut, sprei juga udah kaga karuan bentuknya, bantal ada yang sampai terlempar deket pintu, ama yang paling parah mulut Sherly tuh… udah kaga karuan merancunya.”
“Kenapa Dika ngga langsung serbu aja, Sayang?”
“Gimana mau ikutan, gerak aja susah, nahan sakit juga, sampai berdarah kan yang tergores kuku Sherly? Abis itu Sherly diem, kaga gerak, lunglai gitu, tangan ama jari lemes, wajah juga kayak senyam-senyum sendiri gitu. Terus pelan-pelan Dika lepas tangan Sherly, terus Dika turun, beresin yang berantakan ama sekalian merapikan buku-buku, berantakan semua urutannya tau!”
“Hihihi… maaf, salah ngembaliinnya ya? Terus koq Dika ada di samping Sherly waktu bangun?”
“Hihi… kejadiannya kaga cuma sekali, Sayaaang… tapi dua kali… hihihi…”
“Masak sih, Dik?”
“Iya, baru ketika alarm ponselku bunyi, Sherly terbangun… dan bilang : Dik, Sherly koq lemes banget ya? Gitu. Abis terbangun, Sherly tau sendiri kan kelanjutannya… mau kaga lemes gimana, segitu juga tenaga yang dikeluarin… ya kan?”
“Hihihi… iya.”
“Gimana? Lega?”
“Hihihi… Dikaaa… Sherly sayang Dika… Sherly peluk Dika-ku tercinta boleh kaga?”
“Lah… mulai nih… Dika nyerah deh, kalo password ini udah diucapin Sherly. Anyway, sampai disini aja yah kalo kaga disensor, takut kena UU ITE… tar dikira nulis yang enggak-enggak… hahahaha…”

…Ingin sungguh rasanya
menjadi patahan sayap milik Dika,
agar berdua kami bisa melayang,
terbang hingga langit ketujuh…

Tinggalkan komentar